PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN DALAM AKHLAK ISLAM
Pertumbuhan dan perkembangan akhlak (etika) dalam
pendekatan bahasa sudah dikenal dengan istilah adat istiadat(al-adah/tradisi)
yang sangat dihormati oleh semua masyarakat.
A.
AKHLAK FASE YUNANI
Kemumgkinan bangsa yang pertama membahas akhlak
secara ilmiah adalah bangsa Yunani . Para ahli filsafat Yunani menaruh besar
perhatiannya kepada soal akhlak. Saat itu terdapat kaum Sufsata , yaitu
golongan ahli filsafat yang mengajar para pemuda Yunani untuk menyiapkan diri
menjadi patriot-patriot yang berakhlak . Pemikiran mengenai kewajiban-kewajiban
tersebut mendorong mereka untuk memikirkan pokok dan asal-usul akhlak. Mereka
mencela golongan orang-orang yang memegang kukuh ajaran dan adat istiadat kuno,
dimana mereka hanya mengikuti ajaran-ajaran yang terdahulu.
Kemudian Plato datang, dia menentang ajaran dan adat
kuno melainkan melakukan koreksi terhadap golongan angkatan muda. Menurut
pendapatnya dengan jalan ocehan dan cemoohan hakikat kebenaran itu akan
tertolong. Mereka mengartikan nama “Sufsatah” yaitu “kekacauan” sehingga nama
mereka menjadi jelek , padahal kadang mereka mempunyai pandangan yang lebih
teliti dan lebih hebat dalam memberikan kesadaran dan kemerdekaan dari
takhayul.
Socrates (469-339 SM) datang, dia mencurahkan segala
perhatiannya pada soal-soal sumber perkembangan alam dan kesalahan-kesalahan
langit. Menurutnya yang perlu diperhatikan ialah apa yang menjadi dasar sesuatu
perbuatan dalam kehidupan manusia. Socrates berpendapat bahwa akhlak (etika)
dan perilaku manusia tidak akan benar, kecuali jika diberi dasar ilmu. Socrates
mempunyai paham bahwa “keutamaan itu adalah ilmu”[1]
Pengaruh Socrates menimbulkan berbagai aliran ilmu
akhlak (etika). Dua golongan atau aliran yang terpenting adalah aliran Cynics
dan aliran Cyrenics. Golongan Cynics yaitu pengikut ajaran Sutiscanes (444-370
SM) ajarannya ialah Tuhan itu bersih dari kebutuhan, tidak membutuhkan apa-apa
dan sebaik-baik orang itu adalah orang yang sama akhlaknya dengan akhlak Tuhan.
Tokoh aliran ini ialah Deoganis. Dia mengajarkan kepada murid-muridnya supaya
membuang semua kebiasaan manusia, merasa cukup dengan sedikit, rela menderita,
memandang hina kepada kekayaan, menghindari kesenangan, dan tidak menghiraukan
kemiskinan dan cemoohan orang, asal mereka tetap memegang “keutamaan”.
Adapun golongan Cyrenics, berpendapat bahwa mencari
kesenangan dan menjauhi penderitaan itu adalah tujuan hidup yang benar.
Keutamaannya adalah jika kesenangan lebih besar dari pada penderitaannya.
Tokohnya ialah Aristbus. Golongan ini memandang kebahagiaan itu dalam mencapai
dan memperbanyak kesenangan. Golongan Epicurus dan golongan Stoics pengikut
aliran Cyrenics namun berlainan dalam cara mempelajari akhlak (etika). Filosof
Perancis, yaitu Gancogne (1592-1655) pengikut Epicurus yang menghidupkan
ajaran-ajarannya. Kebanyakan filosof Yunani dan Romawi mengikuti aliran Stoics.
Datanglah Plato (429-347 SM) murid Socrates, dia
berpendapat bahwa dibelakang alam wujud (fisik) ada alam lain yang bersifat
ruhani (metafisika) dan setiap benda yang berjasad itu mempunyai gambar yang
tidak berjasad di alam ruhani. Dia juga berpandapat bahwa di dalam jiwa ada
berbagai kekuatan yang berlainan, dan keutamaan timbul dari keseimbangan
kekuatan-kekuatan itu yang juga tunduk kepada akal. Menurut ajarannya terdapat
empat pokok-pokok keutamaan yaitu kebijaksanaan, keberanian, kesucian, dan
keadilan, yang manjadi syarat untuk tegak dan lurusnya bangsa-bangsa dan
perseorangan.
Kemudian datang Aristo atau Aristoteles (384-322 SM)
murid Plato. Dia membuat aliran baru dan pengikutnya dinamakan peripatetics. Dia berpendapat bahwa
tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Cara mencapai kebahagiaan menurutnya ialah dangan mempergunakan
kekuatan akal sebaik-baiknya. Aristoteles juga menciptakan teori
“tengah-tengah” yaitu setiap keutamaan berada diantara dua keburukan.
Pada akhir abad III tersebarlah Agama Nasrani di
Eropa, jalan pikiran orang Eropa juga berubah. Mereka menyebarkan pokok-pokok
ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab Taurat, dengan menyatakan bahwa Allah
adalah sumber akhlak yang menciptakan segala kaidah dan patokan dalam perilaku
yang menerangkan baik dan buruk. Kebaikan semua itu untuk mencari kerelaan
Allah .
B. AKHLAK FASE ARAB PRA ISLAM
kehidupan baik dan kemuliaan cukup. Namun mereka
juga pemarah yang luar biasa, perampok, perampas, saat mereka merasa diancam.
Kehalusan perangai bangsa Arab dapat dilihat dari syair-syair mereka, Pada
zaman jahiliah bangsa Arab memiliki perangai halus dan rela dalam saat contohnya
syair Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan : “Siapa yang menempati janji tidak
akan tercela, dan siapa yang membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan,
tidak akan ragu-ragu”.[2]
Adapun Amir ibnu Dharb Al-‘Adwaniy “pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak.
Sesungguhnya penyesalan itu akibat kebodohan”.
Aktsam ibn Shaify juga mengatakan “ jujur adalah
pangkal keselamatan; dusta adalah kerusakan; kejahatan adalah kekerasan;
ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan; kelemahan adalah penyebab
kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baik perkara adalah sabar”.[3]
Amr ibn al-Ahtam pernah mengatakan kepada budaknya “Sesungguhnya kikir itu
merupakan perangai yang akurat lelaki pencuri; bermurahlah dalam cinta karena
sesungguhnya kedudukan suci dan tinggi adalah oang yang belas kasih. Orang yang
mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran memiliki jalan sendiri bagi
orang-orang yang baik”.[4]
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah
memiliki pemikiran yang minimal dalam bidang akhlak, dan belum sebanding dengan kata-kata hikmah dari
filosof-filosof Yunani kuno. Memang pada saat itu dari kalangan bangsa Arab
belum diketahui adanya para ahli filsafat dan aliran-alirannya. Hanya ada
orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan untuk berbuat
kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah
agama islam datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala
sesuatu yang ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah
ciptaan sang Khalikul Alam.
C. AKHLAK FASE ISLAM
Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,islam
menerima setiap kebiasaan terpuji yang terdapat pada bangsa Arab serta menolak
semua yang dianggap jelek (menurut petunjuk wahyu, yaitu Al-quran dan
As-sunnah). Islam membawa akhlak mulia yang menjadi dasar kebaikan hidup umat
manusia dan alam seluruhnya. Pemikiran bangsa Arab setelah Al-quran turun dari
segi akhlak menjadi luas dan berkembang, juga lebih jelas arah dan sasarannya.
Mereka telah diberi nikmat (islam) oleh Allah, mereka juga mamapu dalam menulis
syair-syair dan karya tulis sastra yang mendidik melalui kata-katanya yang
hikmah dan terdapat pesan-pesan yang berkaitan dangan akhlak-akhlak yang
sifatnya praktis.
Di kalangan bangsa Arab, sedikit sekali orang yang
mempelajari akhlak secara ilmiah meskipun mereka telah maju dalam lapangan pengetahuan.
Itu karena mereka merasa cukup dengan ajaran akhlak dari agama dan tidak butuh dengan pembahasan ilmiah. Abu
Nashr Al-Faraby dan Abu ‘Ali bin Sina mempelajari akhlak sacara ilmiah juga
mempelajari filsafat Yunani, sehingga dalam ajaran mereka tentang akhlak
terdapat alam pikiran Yunani. Pembahasan akhlak terbesar di kalangan Arab
adalah Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tadzibul Akhlak wa-Tathhirul ‘Araq, yang
membahas campuran akhlak secara ilmiah dengan ajaran-ajaran Plato, Aristo,
Galinus, dan ajaran-ajaran islam.
Abah Ibnu Thiby telah memadukan antara takwa kepada
Allah dengan bakti kepada orang tua dalam hal kebaikan. Hanya saja dalam
tuntunan wahyu ada koreksinya, yaitu Nabi melarang orang tunduk kepada makhluk
sesamanya.
D. AKHLAK FASE ABAD PERTENGAHAN
Eropa mulailah bangkitnya pada babak kedua abad xv
dan para ahli menghidup-hidupkan kembali filsafat Yunani. Para ahli angkatan
baru waktu itu mengeritik dan memperluas penyelidikan tentang masalah-masalah
akhlak (etika) itu berdasarkan persoalan ilmu-ilmu lain yang telah ditemukan
orang, seperti ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan, Mereka cenderung kepada
kenyataan, bukan kepada khayal. Pandangan baru ini menimbulkan perubahan dalam
nilai keutamaan. Perhatian orang mulai tertuju kepada pentingnya dilakukan
perhatian tentang pemuda, wanita dan anak-anak dalam susunan memasyarakatan.
Telah mencapai sukses dalam menetapkan hak dan kewajiban.
Ilmu filsafat,termasuk didalamnya ilmu akhlak, waktu
itu di Eropa pada abad-abad pertengahan, sangat tertekan, sebab gereja memusuhi
filsafat Yunani dan Romawi dan menentang penyebaran ilmu dan kenegaraan. Gereja
percaya bahwa hakikat kebenaran itu wahyu yang tidak mungkin salah lagi. Wahyu hanya membolehkan
orang berfilsafat dalam batas-batas tertenttu, sekadar memperkuat
kepercayaan-kepercayaan keagamaan.
Di Eropa terjadi konfrontasi antara filsafat dan
gereja. Gereja pada waktu itu memerangi filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran
ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah
diterima dari wahyu. Namun diantara golongan gereja ada juga yang menerima
percikan filsafat selama tidak bertentangan dengan ajaran gereja.
Inilah yang menciptakan suasana dimana filsafat
akhlak yang lahir pada masa itu merupakan perpaduan antara ajaran Yunani dengan
ajaran Nasrani. Pemuka-pemukanya yang termasyhur adalah Abelard
(1079-1142) dan Thomas Aquinas (1226-1274).
Kemudian
datang Shakespeare dan Hetzenner yang menyatakan adanya perasaan naluri pada
manusia dapat digunakan untuk membedakan baik dan buruk.
E.
AKHLAK FASE MODERN
Periode modern dimulai dari tahun 1800 sampai fase
kita sekarang, merupakan zaman kebangkitan umat islam. Ditandai dengan jatuhnya
Mesir ke tangan Barat menginsyafkan dunia islam akan kelemahannya dan
menyadarkan umat islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih
tinggi.[5]
Sejak Abad Pertengahan, zaman John Stuart Mill
(1806-1873) dipindahkannya paham Epicurus ke paham Utilitarisme. Pahamnya
terbesar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar disana. Utilitarisme adalah
paham yang memandang bahwa ukuran baik buruknya sesuatu ditentukan oleh
kegunaannya
Herbert Spencer (1820-1903) mengemukaan paham
pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia. Descartes
(1596-1650) seorang ahli pikir Perancis yang menjadi pembangun mazhab
rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari adat kebiasaan harus
ditolak.
Dari
bahasan diatas dapat dipahami bahwa pada era modern itu bermunculan berbagai
mazhab etika antara lain sebagai berikut:
v Ada yang tetap mempertahankan corak
paham lama
v Ada yang secara radikal melakukan
revolusi pemikiran
v Tidak sedikit yang masih tetap konsisten
mempertahankan etika teologis, yaitu ajaran akhlak yang berdasarkan ketuhanan
(agama)
F.
KESIMPULAN
Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman
Yunani Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Dia berpendapat akhlak
dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan ilmu
pengetahuan. Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena,
yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan
‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Kemudian disusul
Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya disebut
Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan
yang teduh
Sejarah
Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan) Pada abad pertengahan, Etika bisa
dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat
Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.Gereja
berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang
terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi
bersusah-susah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah
diatur oleh Tuhan.
Sejarah
Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum IslamBangsa Arab pada zaman jahiliah tidak
mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham tertentu.
Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang
sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian
ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran,
mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal
pada zaman mereka.
G.
DAFTAR PUSTAKA
Zahruddin, Drs.
2004. Pengantar studi islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persaja.
Ardani,
Moh., Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan
tasawuf), (Jakarta: PT Karya Mulia, 2005)
Soleiman,
Abjan , Ilmu Akhlak (Ilmu Etika), (Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,1976)