Konsep Tentang Ittihad dan Hulul.
PENDAHULUAN
Beberapa Konsep Tasawuf Falsafi Tentang Tuhan
Pantheisme[1],
adalah ide dasar dari tasawuf falsafi. Pantheisme berasal dari kata yunani,
yaitu pan yang berarti semua dan theos yang berarti Tuhan.
Jadi pantheisme adalah paham yang menganggap Tuhan adalah immanen
[ada di dalam] makhluk~makhluk. Dengan kata lain Tuhan dan alam adalah sama. Hal yang sama ditegaskan oleh Hamka, bahwa
tasawuf jenis ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya tasawuf dan juga tidak dapat
sepenuhnya dikatakan filsafat.[2]Ia
muncul dalam bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik dan teistik.[3]
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud
kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. MerekA tidak menganggap
bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam tasawuf
falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat
beberapa term yang telah masyhur yaitu ; hulul, wadah al~wujud dan ittihad.
PEMBAHASAN
1.
ITTIHAD
Ittihad adalah paham yang
dipopulerkan Abu Yazid
al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung
menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu
dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani
(fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham
ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan
yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar
menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia
sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad,
"diam pada kesadara ilahi".
Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya
manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang
kesadaranya [sebagai manusia] maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula
yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
Menurut aqidah islamiyah yang murni, Tuhan adalah maha Esa, bersifat
dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, tidak dapat disekutui oleh sesuatupun.
Zat, sifat dan perbuatan Allah adalah maha Esa, tidak menerima
persekutuan. Jika Allah dapat bersatu dengan manusia atau alam semesta
sebagaimana anggapan dan keyakinan dalam tasawuf falsafi, maka berarti
hilanglah ke-maha Esaan-Nya, dan ini adalah mustahil bagi Allah SWT.
2.
HULUL.
a. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan
Hulul merupakan salah satu
konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq
dengan makhluk
Secara harfiah hulul berarti
Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah
dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan
Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya
Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan
(setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”.
b.Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga.
b.Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga.
Hulul atau juga sering
disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang
dipopulerkan Mansur al-Hallaj.
Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan
tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut
Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan
aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga
dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri
masing-masing.
Dalam sufistik-mistis,
orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat
(kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang
melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan
berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang
sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Beberepa ungkapan Al-Hallaj yang terdapat makna Hulul
adalah sebagai berikut: Al-Hallaj pernah ditanya" Siapakah anda?, ia
menjawab 'aku adalah Allah".[7]
Diantara sya'ir Al-Hallaj yang terkenal adalah sebagai
berikut:
Aku adalah Allah
Dan aku benar-benar Allah
Aku menyandang Dzat-Nya
Hingga tiada beda antara aku dengan-Nya[8]
Aku adalah orang yang menitis
Dan yang menitis itu adalah aku
Kami adalah dua ruh yang menempati satu jasad
Ruh-Nya adalah ruhku
Dan ruhku adalah ruh-Nya
Siapakah yang melihat dua ruh
Yang menempati satu jasad[9]
Gejala pemikiran Al-Hallaj yang berupa hulul sehingga
terucap dalam ungkapan-ungkapannya tersebut diatas telah ada tanda-tandanya
sejak ia melaksanakan ibadah haji pertama kali ke Makkah…Ketika melaksanakan
haji ia berjanji pada dirinya akan menyelesaikan umrah selama satu tahun di
Masjidil Haram dengan berpuasa dan berzdikir. Pada kesempatan ini Al-Hallaj
berusaha menurut caranya sendiri untuk menyatu dengan Allah SWT., dan mulai
sejak itu pula Al-Hallaj menyerukan konsep hululnya itu.[10]
3.
WAHDAH AL-WUJUD
Wahdatul
Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi[4].
Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin
dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku."
Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal jika tidak menciptakan alam
semesta. Alam merupakan pemampakan lahir Tuhan.[10]
Menurut paham ini, Tuhan
dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia
memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan
alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah
adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya.
Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari
aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah.[10]
Wahdah Al-wujud dapat
berarti; penyatuan eksistensi atau penyatuan dzat. Sehingga yang ada atau
segala yang wujud adalah Tuhan [Tuhan telah bersatu dengan alam\segala
sesuatu].
Wahdah Al-wujud adalah faham
yang disusun oleh Ibnu Arabi. Aliran ini pada dasarnya berlandaskan pada
perasaan, sebagaimana Ibnu Arabi pernah berkata;"maha suci dzat yang
menciptakan segala sesuatu dan dia adalah sesuatu itu".[12]
Dalam mengomentari
pernyataan tersebut, harun nasution mengatakan bahwa Wahdah Al-wujud berarti
kesatuan wujud, unity of existence. Faham ini adalah kelanjutan
dari faham hulul yang dibawa oleh muhyiddin Ibnu Arabi.[13]
Dalam teori tentang wujud, Ibnu Arabi mempercayai terjadinya emanasi,
yaitu Allah menampakkan sesuatu dari wujud materi…….berikut ini adalah beberapa
pernyataan Ibnu Arabi yang mengandung ide wahdah al-wujud.[14]
"….wujud tidak lain adalah
dari al-haq karena tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali dia",
"tiada yang tampak
dalam wujud melalui wujud kecuali al-haq, karena wujud itu adalah
al-haq….."
Pernyataan-pernyataan Ibnu
Arabi diatas menunjukan bahwa semua yang tampak, yang ada di alam semesta ini
bukanlah wujud yang hakiki, bukanlah wujud yang independent, akan tetapi alam
semesta iniadalah sebagai perwujudan dari wujud Allah, karena bagi Ibnu Arabi
yang berwujud hanyalah kholiq.
Dalam teori wahdah
al-wujud ini, jika diri Allah terdapat wujud yang setera hal itu akan
menimbulkan dualitas wujud. Dan hal itu akan membawa pada kesyirikan. Bagi yang
meyakini faham wahdah al-wujud, semua yang ada di alam semesta inisesungguhnya
hanyalah sebuah ilusi atau bayangan yang ditangkap oleh indra manusia, dimana
manusia itu juga merupakan ilusi.
Pemahaman tersebut diatas
ibarat seseorang yang melihat bayangannyadalam cermin. Gambar yang terlihat
dalam cermin itu meskipun ada dan tampak jelas, namun sebenarnya ia hanyalah
ilusi atau bayangan dari orang yang bercermin tersebut. Dan apabila seseorang
bercermindengan menggunakan beberapa cermin, maka bayangannya orang yang
bercermin itupun menjadi banyak. Padahal hakikatnya adalah satu. Hal ini
sebagaimana di jelaskan didalam fusush Al-hikmah ;
"wajah sebenarnya satu,
tetapi jika engkau perbanyak cermin maka ia akan menjadi banyak".[15]
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa teori wahdah Al-wujud, yang dipelopori oleh Ibnu Arabi
adalah faham yang meyakini tidak ada yang wujud kecuali Tuhan yang Esa,
sedangkan alam semesta hanyalah bayangan dari Tuhan. Dengan kata lain antara
kholiq dengan makhluk adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Konsep wahdah Al-wujud dari
Ibnu Arabi ini ditentang oleh Ibnu Taimiyah dengan ungkapan nya; "Ibnu
Arabi berkeyakinan bahwa wujud hanyalah satu, wujud alam adalah wujud Allah,
wujud makhluk adalah wujud kholiq dan segala sesuatu adalah perwujudan-Nya.
Oleh karena itu ia zindiq.[16]
Adalah tepat yang
dikemukakan oleh ibnu taimiyah diatas, sebab Rasululloh SAW. Tidak pernah
mengajarkan bahwa tidak ada yang wujud kecuali Allah, akan tetapi beliau
menyerukan bahwa tidak ada Tuhan [yang berhak diibadahi]kecuali Allah.
Ringkasan
ajaran wahdah al-wujud Ibn ‘Arabbbi, Sadr al-Din al-Qunawi dan Abd karim
al-Jilli tertuang dalam Syarab
al-Asyiqin.[5]
4.
KONSEP ITTIHAD DAN HULUL DALAM PRESPEKTIF ISLAM
Diskusi
tentang Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran
Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang
hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik.
Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam.
Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf)
bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang
didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud
hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi
al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
Dalam
memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional
semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan
kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang
haruslah menjadi Sufi. Bentuk penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh
Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta
bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman, seperti yang disinggung
al-Ghazali ketika menjelaskan tauhid melalui penyaksian yang diperoleh melalui
kasyf. Memahami hal-hal yang tidak hanya berdasarkan atas nalar dan pengalaman
normal mengharuskan kita menyadari bahwa Ibnu Taimiyah yang belum mencapai
tingkat pengalaman seperti yang dicapai para Sufi tidak selayaknya mengingkari
penjelasan dari orang yang sudah mengalaminya.
5.
KONSEP ITTIHAD DAN HULUL DI LUAR ISLAM.
Untuk menjawab ibnu taimiyah dikarenakan pengadopsian konsep yunani;
untuk mengeneralkan kandungan makna Hulul dan Ittihad dan sekaligus untuk
membedakannya dari konsep Hulul dan Ittihad dalam Islam, dalam pembahasan ini
akan digunakan terma ’ketunggalan ada’ sebagai pengganti dari Hulul dan
Ittihad. ide tentang ‘ketunggalan (yang) ada’ dapat dilacak dalam pemikiran
tokoh yang, dalam berbagai buku, dianggap sebagai filosof pertama Yunani,
Thales. Dia dikenal dengan pendapat bahwa asal semesta adalah air, dengan bukti
bahwa segala yang ada mengandung unsur air yang telah menguap atau memadat.
Penjelasan naturalistik yang dikemukakan Thales tidak berarti dia sama sekali
tidak berbicara tentang tuhan. Alih-alih, menurut Aetius, Thales mengatakan
bahwa pikiran (mind) alam semesta adalah tuhan dan bahwa tuhan bersatu dengan
segala sesuatu. Pandangan ini kemudian dikenal dengan panteism.
ANALISA KRITIK TERHADAP PANTHEISME
Didalam kritik ini akan dikomparasikan antar pendapat-pendapat dan
perkataan para tokoh sufi falsafi dengan Ayat-ayat Al-qur'an dan pendapat para
ulama salafush-shalih, apakah sesuai atau tidak sesuai sehigga dapat
diambil sebuah kesimpulan tentang pendapat kaum sufi falsafi tersebut.
Pantheisme yang diyakini oleh kaum sufi falsafi adalah bertolak
belakang dengan firman Allah SWT. Yang telah menetapkan bagi diri-Nya itu tidak
ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Allah berfirman;
"Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dan Dialah yang maha
mendengar dan maha melihat".[QS Asy-syura ; 11]
Ibnu Katsir dalam mentafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa tidak ada
yang serupa dengan dia dalam penciptaan dan sifat-Nya yang maha tinggi. Dan
Allah SWT. Adalah zat yang tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya.
Mujahid mengatakan tidak ada sesuatupun tandingan dari makhlik-Nya
yang akan menyaingi-Nya atau yang mendekati-Nya.
Perkataan Abu Yazid ; "Aku adalah Allah......"adalah
sebuah ungkapan syirik akbar[22]
yang nyata (tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi akal sehat atas
kesyirikan perkataan tersebut).
Perkataan yang menganggap bahwa "segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini adalah Allah" adalah bertentangan dengan salah satu
ayat:
"Patutkah mereka berbuat syirik [dengan menyembah kepada selain
Allah] yang tidak dapat menciptakan apa-apa ? padahal sesuatu selain Allah itu
adalah ciptaan-Nya"[QS Al-a'raf [7] : 191 ]
Kaum tasawuf falsafi dalam usahanya mengenal Allah SWT. lebih
mengedepankan pendapat akal dan dengan mengesampingkan nash-nash yang
shahih. Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dan menyimpang
dari yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya SAW. didalam Al-qur'an dan
as-sunnah.
Disamping itu pula, didalam konsep tasawuf falsafi lebih
mengutamakan Riyadhoh Rohaniyah sampai mencapai fana'[23]
sehingga mengenal Allah diluarkesadaran mereka. Dan sudah pasti,
mengenali sesuatu, terlebih lagi mengenal Allah di luar alam sadar maka akan
tersesat.
Konsep Al-ittihd. Al-hulul dah wahdah Al-wujud jika dipandang dari
sudut ilmu tauhid maka termasuk syirik. Karena ketiga konsep tersebut
mensekutukan sesuatudengan Allah SWT. dikatakan zat diri telah bersatu dengan
wujud Tuhan, atau jiwa telah tenggelam, lebur menjadi satu kedalam hadhirat
Tuhan atau bahkan alam semesta adalah jelmaan Tuhan. Ininjelas kesyirikan yang
nyata.
Menurut aqidah islamiyah yang murni, Tuhan adalah maha Esa, bersifat
dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, tidak dapat disekutui oleh sesuatupun.
Zat, sifat dan perbuatan Allah adalah maha Esa, tidak menerima
persekutuan. Jika Allah dapat bersatu dengan manusia atau alam semesta
sebagaimana anggapan dan keyakinan dalam tasawuf falsafi, maka berarti
hilanglah ke-maha Esaan-Nya, dan ini adalah mustahil bagi Allah SWT.
Allah semata-mata berlainan denga dunia real ini secara hakiki. Ia
adalh pencipta makhluk. Antara Tuhan dan makhluk adalah berbeda.
Oleh sebab itu, bagaimana kedudukan Al-qur'an dan As-sunnah, jika
konsep ini dibiarkan berkembang didalam Islam? Kafir disamakan dengan mukmin,
fasik sama dengan taat dan bahkan hewanpun sama hakikaynya dengan Tuhan.
Sungguh sangat berbahaya ketiga konsep tersebut bagi umat islam dan benar-benar
sesat-menyesatkan. Ketiga konsep tersebut adalah merupakan aliran filsafat yang
berasal dari agama hindu yang dimasukkan kedalam tasawuf, guna merusak Islam
dari dalam.
Amat berbahaya jika kaum muslimin memandang bahwa konsep ittihad,
hulul dan wahdah Al-wujud sebagai metode mendekatkan diri kepada Tuhan.[24]
Oleh karena itu Rasulullah Saw diutus ke dunia ini untuk
menghancurkan keyakinan-keyakinan semacam itu [anggapan bahwa Allah
bersekutu dengan makhluk ciptaan-Nya] dan meluruskannya dengan tauhid la
ilaaha illallah, Tiada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah.
Begitu secara ringkas keritikan-keritikan yang
ditunjukan kepada faham wahdat al-wujud dengan
berbagai konsep atau ajaran yang lahir darinya.[6]
KESIMPULAN
sebagai penutup,
perlu dipahami bahwa Hulul dan Ittihad, dalam konteks Islam, tidak boleh
ditafsirkan ala Ibnu Taimiyah yang secara panteistik (bahwa tuhan dalam segala
sesuatu) atau panenteistik (bahwa tuhan bertempat dalam dalam segala sesuatu),
atau menganggapnya sebagai mistisisme naturalis, apalagi dijelaskan secara ateistik.
Jauh dari itu semua yang menafikan transendensi Tuhan, Ibn Arabi selalu
menekankan transendensi Tuhan diatas semua kategori. Penjelasan yang
mengesankan hal demikian mestilah dipahami dalam konteks sufistik dan
ditafsirkan secara tepat dengan mengkomparasikan satu keterangan dengan
lainnya.
Lebih jauh lagi,
dalam konteks kesamaan (nama) konsep dalam berbagai tradisi tidak mesti
ditafsiri dalam konteks keterpengaruhan. Untuk menyebut kasus, formulasi
metafisik dalam tradisi agama semitik dan Hindu, misalnya, dalam batas tertentu
memiliki kemiripan. Namun hal ini kemudian dipahami secara berbeda oleh
masing-masing penganut tradisi.
Dalam konteks
yang lebih luas, kemiripan-kemiripan yang ada antara tasawuf, secara umum, dan
konsep Hulul dan Ittihad, khususnya, tidaklah mesti dipahami sebagai
keterpengaruhan. Karena, kesamaan—atau lebih tepatnya, apa yang dianggap
sebagai kesamaan—antara konsep para Sufi dan konsep yang dikenal dalam tradisi
lain tidaklah meniscayakan bahwa kaum Sufi telah mengadopsi konsep tradisi lain
secara apa adanya. Dan jika dianggap bahwa peminjaman istilah dan konsep dari
tradisi lain benar-benar terjadi, maka hal itu tidak menafikan proses
Islamisasi konsep itu
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Rosihon.2009.Akhlak Tasawuf.Bandung: CV Pustaka Setia.
Azhari
kautsar N.1995. Ibn’arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan.Jakarta:
Paramadina.
Hamka,1986.Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya.Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Jamil
HM.2004,Cakrawala Tasawuf
.sejarah,pemikiran dan kontekstualitas.Jakarta : Gaung Persada Pers.
Khaliq,Abur
Rahman Abdul.2001.Penyimpangan-penyimpangan
Tasawuf.Jakarta :Rabbani Perss.
Siregar.A.Rivay,2000.Tasawuf dari Sufisme Klasik ke neo-Sufisme.Jakarta:PT
Raja Grapindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_dalam_Islam (sabtu 1 oktober 2011)
[1]
Taftazani,op.cit.,hlm188
[2]
Hamka, Tasawuf: perkembangan dan pemurniannya,jakarta : pustaka panjimas1986
hlm 76
[3]
Kautsar azhari noer ibn Arabi wahdat
al-Wuju dalam perdebatan.Jakarta : paramadina hlm 162
[4]
Anwar Hosihon,2009 cet ke-1 akhlak yasawuf hlm 170
[5]
Drs,H.M Jamil MA.cakrawala Tasawuf2004 hlm 142.
[6][6] Dalam
buku syekh Abdur Rahman Khaliq,ibid,hlm 59-70 dan Muhammad Al-Abduh dan Thariq
Abdul Halim op.cit,hlm 107