DASAR-DASAR TENTANG
TASAWUF
Pengertian Tasawuf secara
Etimologi
Dalam mengajukan teori tentang tasawuf, baik secara etimologi maupun
secara istilah, para ahli ternyata . secara etimologi , pengertian tasawuf
menjadi beberapa macam , seperti di bawah ini:
Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang
di konotasikan dengan “ahlu suffah”, yang berarti sekelompok orang di masa
Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka
mengabdikan untk beribadah kepada Allah.
Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu
berasal dari kata “shafa”. Kata “shafa” ini berbentuk fi’il mabni majhul
sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti sebagai nama
bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang yang
menyucikan dirinya di hadapan Tuhan-Nya.
Ketiga ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata
“shaf”. Makna “shaf” dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu
berada di shaf yang paling depan.
Keempat, ada yang mengatakan istilah tasawuf
dinisbahkan kepada orang-orang dari bani Shufah.
Kelima, tasawuf ada yang menisbahkan dengan
kata dari bahasa Grik atau Yunani, yakni “saufi”. Istilah ini disamakan
maknanya demgan kata “hikmah” yang berarti kebijaksanaan. Orang berpendapat
seperti ini adalah Mirkas, kemudian di ikuti oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya
“adab Al-lughah Al-arabiyah”, yang menyebutkan bahwa para filosofis yunani
dahulu telah memasukan pemikiran atau kata-katanya yang di tuliskan dalam
buku-buku filsafat yang penuh mengandung kebijaksanaan. Ia mendasari
pendapaatnya dengan argumentasi bahwa istilah sufi atau tasawuf tidak di
temukan sebelum ada penerjemahan kitab-kitab yang berbahasa yunani kedalam
bahasa Arab. Pendapat ini juga oleh Nouldik, yang mengatakan bahwa dalam
penerjemahan dari bahasa yunani kedalam bahasa Arab terjadi proses asimilasi. Misalnya
orang arab metransliterasikan huruf
“sin” menjadi “shad”, seperti dalam kata tasawuf.[1]
Keenam ada juga yang mengatakan tasawuf itu
berasal dari kata “shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu banyak
yang tumbuh di padang pasir di tanah
Arab dan pakaian kaum sufi berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam
kesederhanaanya.[2]
Ketujuh,
ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu
domba atau wol.[3]
Dari ketujuh Term diatas, yang banyak di
akui kedekatanya dengan makna tasawuf yang di pahami sekarang ini adalah term
yang ketujuh,yakni Term “shuf”.[4]
Mereka cenderung
mengakui Term ketujuh, antara lain Al-kalabadzi, Al-syukhrawardi, Al- Qusyaeri,
dan lainnya walaupun dalam kenyataanya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian
Wol.
Barmawie Umarie , mengatakan bahwa dari
term-term di atas, belum ada yang menggoyahkan pendapat yang mengatakan bahwa
tasawuf itu berasal dari wazan (timbangan) tafa’ul yaitu: tafa’ala yatafa
“alu-tafa”ulan dengan imbangannya, yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan.[5]
PENGERTIAN
TASAWUF BERDASARKAN ISTILAH
Pengartian tasawuf berdasarkan istilah,
telah banyak dirumuskan oleh ahli, yang satu sama lain berbeda sesuai dengan
seleranya masing-masing.
1. Menurut Muhammad ali Al-Qassab. Ia
memberikan usulannya sebagai berikut, “Tasawuf adalah akhlak yag mulia yanh
timbl pada masa mulia dari seorang yang mulia di tengah-tengah kaumnya yang
mulia.
2. Menurut syamnun. Ia menyatakan ,”
tasawuf adalah bahwa engkau memiliki sesuatu dan tidak dimiliki sesuatu.”
3. Ma’ruf Al-kharakhi, mengungkapkan
pengertian tasawuf sebagai berikut, “Tasawuf adalah mengambil hakekat , dan
berputus asa pada apa yang ada di tangan makhluk.”
Dari
ungkapan-ungkapan itu , lebih utama bila kita memperhatikan apa yang telah
disimpulkan oleh Al-junaedi sebagai berikut:
“Tasawuf
adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk,
berjuang menanggalkan pengaruk budi yang asal (instink) kita , memadamkan
sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia , menjauh segala seruan dari hawa
nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu
hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasehat
kepada semua umat manusia , memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat
dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at.[6]
Jadi
kalau kita simpulkan dari berbagai pengertian, terutama dari ungkapan
Al-Junaedi itu, dapat kita ringkas sebagai berikut : “Ilmu Tasawuf adalah ilmu
yang mempelari usaha membersihkan diri , berjuang memerangi hawa nafsu, mencari
jalan kesucian denagn ma’rifat menuju keabdian, saling mengingatkan antar
manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikutai syari'.
Fase
perkembangan tasawuf :
- Fase Askestisme (zuhud).
Berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap semacam ini dipandang pengantar
kemunculan tasawuf diman setiap individu dari kalangan muslim memusatkan
dirinya pada ibadah dan pendekatan diri pada Allah SWT, mereka tidak
mementingkan kenikmatan duniawi dan kemudian berpusat pada kenikmatan
akherat, Tokoh yang populer pada fase ini adalah hasan Al Basri (110 H)
dan Rabiah Al Adawiyah (185 H) keduanya dalam sejarah disebuth seorang
zahid
- Fase Akhlaki. Pada fase ini
tasawuf berkembang pada abad ketiga Hijriah, dimana para sufi mulai
ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia. Pada saat manusia ketika
itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi moral yang cukup akut,
sehingga dari sini tasawuf mulai berkembang dengan pesat sebagai ilmu
moral keagamaan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat islam, dari
sini kemudian nampaklah bahwa ajaran tasawuf semakin sederhana dan mudah
dipraktekkan dengan standar akhlak.
- Fase Al-Hallaj. 1 abad
kemudian, muncul tasawuf jenis lain yang lebih ekslusif dan fenomental
yang diwakili oleh al-Hallaj, beliau mengajarkan
tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya
adalah wahdatul wujud (bersatu dengan wujud yang satu). Dari konsep ini
kemudian Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus dihukum mati, untuk
sebuah konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam masih sangat
indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap
membahayakan stabilitas umat.
- Fase Tasawuf Moderat.
Kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar abad kelima hijriyah
dengan seorang tokohnya yaitu Imam Ghazali,
yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang
berdasarkan al-Quran dan Al-Hadist, serta menekankan kembali askestisme.
Al-Ghazali telah berhasil menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang
moderat, akibat pengaruh kepribadian iman al-Ghazali yang begitu besar,
maka pengaruh tasawuf dengan dasar moderat
ini telah meluas hampir keseluruh pelosok
dunia islam, lalu mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian
mengembangkan tarekat tertentu untuk murid-murid
mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan Sayyed Abdul
Qadir Jaelani.
- Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase
ini tasawuf mulai dipadukan dengan filsafat yang muncul pada abad ke 6
Hijriah, tokoh yang muncul Syuhrowardi al Maqtul (549 H), Syek Akbar
Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632 H) mereka memcoba
menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan askestisme dengan
filsafat yunani khususnya neo-Platonisme. Teori –teori yang mendalam
khususnya mengenai jiwa, moral, ilmu tentang wijud menjadi hal yang
urgensi dalam prinsip berfikir mereka.
Pemikiran Tasawuf Akhlaki
Tasawuf
disini dimaksudkan untuk merubah dan memperbaiki akhlak yang mulia. Dalam
pemikiran ini tidak hanya bersifat lahiriyah tapi juga
batiniyah, dengan latihan (riyadoh) tujuannya adalah
menguasai hawa nafsu. Untuk itulah tasawuf akhlaki menerapkan
terapi pembinaan mental dan akhlak yang
disusun sebagai berikut :
- Terapi takhalli adalah
mengosongkan diri dari prilaku dan akhlak tercela,
adalah langkah awal yang harus dijalani seorang sufi, untuk memasuki dunis
tasawuf yang suci. Kerena akhlak tercela adalah perangkap kenikmatan
duniawi. Sebagai penghalang perjalanan seorang
hamba pada Tuhannya, untuk mencapai spiritual yang
hakiki, Akhlak tercela lainnya yang paling berbahaya adalah Riya(suka
pamer). Imam Al-Ghazali menganggap penyembuhan diri yang masuk dalam
politeisme.
- Terapi Tahalli, dilakukan agar
seseorang dihiasi oleh sikap, prilaku dan Akhlakul karimah, Tahp ini
dilakukan setelah tahap pertama selesai, lalu mereka akan selalu
berusaha berjalan diatas
ketentuan agama, tahap ini
adalah isi dari pembersiha diri dan
pengosongan jiwa. Beberaoa hal yang harus diisi dalam menghiasi beberapa
prilaku tadi adalah :
1) Taubat: penyesalan sungguh-sungguh
dalam hati yang disertai dengan permohonan.
2) ampun serta berusaha
meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbukan dosa itu kembali
3) Cemas dan Harap
adalah sikap mental tasawuf yang selalu
bersandar kepada salah seorang tokoh yaitu hasan Al-Basri yaitu suatu
perasaan yang timbul karena banyak yang berbuat dosa dan lalai kepada Allah.
4) Zuhud yaitu sikap mental
sufi yang melepaskan diri dari ras ketergantungan terhadap kenikmatan duniawi
dengan mengutamakan kehidupan akherat yang abadi.
5) Al-faqr, sikap
bermakna, dimana seorang sufi tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dimiliki, sehingga tidak menuntut sesuatu yang lain. Sikap ini merupakan
benteng terhadap pengaruh kenikmatan duniawi dan menghindari keserakahan, Pada
prinsipnya sikap ini adalah rentetan dari sikap zuhud, hanya saja zuhud lebih
eksrim sedangkan faqr adalah sekedar.
6) Pendisiplinan, sikap inipun
pada gilirannya akan menimbulkan sikap wara dalam diri sufi.
7) Al-Shabr adalah hal
yang paling mendasar dalam tasawuf kaena sabar mengandung makna keadaan
jiwa yang kokoh stabil, konsekwensi dalam pendirian, walaupun godaan dan
tantangan begitu kuat, sikap ini dilandasi satu anggapan bahwa segala sesuatu
terjadi merupaka kehendak Allah dan kita harus menerimanya
dengan sabar, tapi iktiar juga tetap
harus dijalankan.
8) Ridha, sikap ini
merupakan kelanjtan dari rasa cinta yang
merupakan perpaduan Mahabbah dan sabar, Ridho dalam hal ini mengandung
makna lapang dada, berjiwa besar, hati terbuka terhadap apa yang bersadar dari
Allah baik menerima ketentuan agama dan masalah nasib itu sendiri.
9) Muraqqabah,
sikap ini adalah berarti mawas diri
atau lebih tepat nya dengan self correction,
sikap dimana kita siap siaga setiap saat untuk meneliti
keadaan diri sendiri. Sikap ini berawal dari sebuah landasan pemikiran bahwa
Allah senantiasa mengawasi dan mengamati setipa gerak dan langkah kita selama
hidup di dunia.
3. Terapi Tajalli merupakan pemantapan dari
tahap tahlli yang bermakna nur ghaib, yaitu dengan menghayati rasa keber
Tuhanan lebih mendalam yang kemudian menimbulkan rasa rindu yang amat sangat
kepada sang Tuhan, karena kaum sufi berpendapat untuk mencapai kesempurnaan
kesucian jiwa, hanya dapat ditempuh dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah
secara mendalam, maka jalan menuju tuhan akan terbuka dengan lebar.
Dasar-dasar
Tasawuf Dalam Al-Qur’an
dan Hadits
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an dijadikan
sumber untuk Tasawuf karena Al-Qur’an sebagai nash, dimana Hadits pun termasuk didalamnya. Setiap muslim dimana
pun dan kapan pun di bebani untuk memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan
yang nyata. Apabila pemahaman nash
tidak diamalkan, maka disitulah terjadi kesenjangan.
Awal pembentukan dari
Tasawuf itu sendiri adalah akhak atau keagamaan, sedangkan akhlak dan keagamaan
ini banyak dibahas didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, sebagai sumber
pertamanya adalah Al-qur’an, As-Sunnah dan ucapan serta amalan para sahabat.
Al-Qur’an di dalamnya mengandung
muatan-muatan ajaran islam, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun
mu’amalah. Al-Qur’an perlu dipahami secara tekstual lahiriah, namun disisi lain
Al-Qur’an pun perlu dipahami dari disisi kontekstual-rohaniah. Jika hanya
dipahami dari lahiriahnya saja, maka ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku,
kurang dinamis, dan akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara
psikis.
Ajaran
islam mengatur kehidupan secara lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur
batiniah akan mengeluarkan tasawuf. Yang secara garis besar mendapatkan perhatian
dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an, As-Sunnah dan praktek kehidupan para Nabi
beserta sahabatnya. Al-Qur’an berbicara tentang manusia dapat saling mencintai
(muhabbah) dengan Tuhan. Hal itu
misalnya difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 54, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, barngsiapa di
antara kamu yang murtad dari agama, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai meraka dan meraka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mu’min, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihab di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas
(pemberian-Nya) lagi maha pengetahui.”
Dalam Al-Qur’an Allah pun memerintahkan hambanya
untuk bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan-Nya agar mendapatkan
cahaya dari-Nya. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim : 8, yang
artinya “Hai orang-orang yang beriman,
bertobatlah kepada Allah dan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan
kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan masukan kamu kedalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan
Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar
di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan
kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami; sesungguhnya engkau Mahakuasa atas
segala sesuatu.”
Al-Qur’an
pun menegaskan tentang pertemuan Allah dengan hambanya dimanapun hambanya
berada sesuai dengan firman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 115, yang artinya “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka ke manapun kamu menghadap di
situlan wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya lagi Maha
Mengetahui).”
Allah
pun akan memberikan cahaya kepada yang dikehendakin-Nya, sebagaimana firman nya
dalam Al-Qur’an surat An-Nur : 35 yang artinya “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak hembus, yang di dalamnya ada pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, yaitu (pohon) zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di
sentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan
bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. “
Allah
juga menjelaskan kedekatan manusia dengan-Nya, seperti yang disebutkan dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 186, yang atinya “jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, adalah dekat, Aku
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” Selain itu
adapula firman allah yang berbunyi dalam Al-Qur’an surat Qaf : 16, yang artinya
“sebenarnya Kami ciptakan manusia dan
kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya
daripada pembuluh darahnya sendiri.”
Al-Qur’an
pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak oleh harta duniawi dan
kehidupannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Fatir : 5, yang
artinya “Hai manusia sesungguhnya janji
Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdaya kamu
dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang
Allah.”
Berikut
adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan para sufi baik tingkatan
maupun keadaannya. Dimana sufi adalah
Seperti
tingakatan zuhud yang banyak dklaim
sebagai beranjaknya ilmu tasawuf, telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat
An-Nisa : 77 pada bagian akhir ayat yang artinya “katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara, dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertawakal.”
Sedangkan
dalam tingkatan takwa berlandaskan
pada firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat : 13 yang
sebagian arti dari ayat tersebut berbunyi “sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”
Tingkat
tawakal menurut sufi berlandaskan
pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Talaq : 3 yang sebagian arti dari
ayat tersebut berbunyi “Dan barang siapa
bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya.”
Serta pada Al-Qur’an surat Az-Zumar : 38 yang akhir dari ayat tersebut bila
diartikan berbunyi “Dan hanya kepada
Allah-lah orang-orang beriman itu bertawakal.”
Tingkatan
syukur berlandaskan pada firman Allah
dalam Al-Qur’an surat Ibrahim : 7 yang sebagian ayatnya menyebutkan bahwa “sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahka( nikmat)
kedapamu.”
Tingkatan
syukur berlandaskan pada firman Allah
yang berbunyi “maka bersabarlah kamu
karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlan ampunan untuk dosamu
dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” Serta
dalam surat Al-Baqarah :155, berbunyi “Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Kemudian
yang terakhir adalah tingkat rida yang
berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 119 yang
sebagian dari ayat tersebut berbunyi “Allah
rida terhadap mereka, dan mereka pun rida terhadap-Nya.”
2.
Landasan Hadits
Dalam
hadits Rasulullah banyak sekali keterangan yang membahas tentang kehidupan
rohaniah manusia. Berikut adalah matan hadits yang dapat dipahami dengan
pendekatan tasawuf.
a. Hadits yang berbunyi “Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri
berarti ia mengenal Tuhannya.”
b. Hadits yang berbunyi “Aku adalah perbendaharaan yang
tersembunyi maka aku menjadikan makhluk
agar mereka mengenal-Ku.”
c.
Hadits
yang berbunyi “Senantiasa seorang hamba
itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku
mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia
pakai untuk melihat dan lidahnya yang ia pakai untuk berbicara dan tangannya
yang dia pakai untuk mengepal dan akainya yang dia pakai untuk berusaha; maka
dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan
berjalan.”
Hadits
diatas memberikan petunjuk bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan-Nya. Diri
manusia dapat lebur kedalam diri Tuhan, yang disebut dengan fana’. Fana’ yaitu sebagai makhluk
mencintai Tuhan seperti apa yang dicintainya. Istilah “lebur” atau “fana”
haruslah ada ketegasan bahwasannya di antara Tuhan dengan Manusia tetap ada jarak
dan itu hanya sebagai penunjuk keakraban saja.
Dalam kehidupan nabi muhammad SAW. Juga terdapat petunjuk
yang menggambarkan bahwa beliau adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad
telah mengasingkan diri Ke Gua hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi
pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab
tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip
menghalalkan segala secara.
Selama di Gua Hira Rasulullah hanya bertafakur, beribadah
dan hidup sebagai jahid. Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan
pakaian tambalan, tidak makan atau minum kecuali yang halal dan setiap malam
beribadah kepada Allah SWT., sehingga Siti Aisyah bertanya , “Mengapa engkau berbuat begini, ya
Rasulullah pasahal Alla senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab,
“apakah engkau tidak menginginkanku
menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah?”
Dikalangan sahabat pun banyak juga yang mengikuti praktekbertasawuf
sebagaimana yang dipraktekan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq,
misalnya, pernah berkata, “Aku
mendapatkan kemuliaan dalam keatakwaan, kefana’-an dalam keagungan dan
kerendahan hati.” Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkhutbah dihadapan
jemaah kaum Muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah
Utsman bin affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca
Al-Qur’an. Baginya, Al-Qur’an adalah ibarat surat dari kekasih yang selalu
dibawa dan dibaca kemana pun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya, seperti
Abu Dzar Al-Ghifari, Tamin Darmy, dan Hudzaifah Al-Yamani.
Uraian dasar-dasar tasawuf diatas, baik dari Al-Qur’an,
Al-Hadits, maupun teladan dari para sahabatmerupakan benih-benih tasawuf dalam
kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat
rujukannya dalam Al-Qur’an. Dari sini jelaslah bahwa dalam pertumbuhan
pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dari sumber Al-Qur’an itu sendiri.
Tasawuf Sunni dan
Tasawuf Falsafi serta Karakteristiknya
Tasawuf Sunni
yang terus berkembang sejak zaman klasik islam hingga zaman modern sekarang
sering digandrungi orang karena penampilan paham atau ajran-ajarannya tidak
terlalu rumit. Tasawuf jenis ini banyak berkembang di dunia Islam, terutama di
negara-negara yang bermazhab Syafi’i.
Adapun ciri-ciri dari tasawuf sunni antara lain :
1.
Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Tasawuf jenis ini, dalam
pengejawantahan ajaran-ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadits
sebagai kerangka pendekatannya. Mereka tidak mau menerjunkan pahamnya pada
konteks yang berada diluar pembahasan Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an dan
Hadits yang mereka pahami, kalaupun harus ada penafsira, sifatnya hanya
sekedarnya dan tidak begitu mendalam.
2.
Tidak menggunakan terminologi-terminologifilsafat sebagaimana terdapat pada
ungkapan-ungkapan syathahat. Terminologi
tersebut dikembangkan tasawuf sunni secara lebih transparan, sehingga tidak
kerap bergelut dengan term-term syathahat.
Kalaupun ada term yang mirip syathahat,
itu dianggapnya merupakan pengalaman pribadi, dan mereka tidak menyebarkannya
kepada orang lain. Pengalaman yang ditemukannya itu mereka anggap pula sebagai
sebuah karamah atau keajaiban yang
mereka temui. Sejalan dengan ini, Ibnu Khaldun, sebagaimana dikutip
Al-Taftazani, memuji para pengikut Al-Qusyairi yang beraliran Sunni, karena
dalam aspek ini mereka memang meneladani para sahabat. Pada diri para sahabat
dan tokoh angkatan salaf telah banyak terjadi kekeramatan seperti ini. *
3.
Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubngan antara Tuhan dan manusia.
Dualisme yang dimaksudkan disini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun
manusia dapat berhubungan dengan Tuhan, dalam hal esensinya, hubungannya tetap
dalam kerangka yang berbeda diantara keduanya. Sedekat apapun manusia dengan
Tuhannya tidak lantas membuat manusia dapat menyatu dalam Tuhannya.
Al-Qur’an dan
Hadits dengan jelas menyebutkan bahwa “inti” makhluk adalah “bentuk lain” dari
Allah. Hubungan antara Sang Pencipta dan yang diciptakan bukanlah merupakan
salah satu persamaan, tetapi “bentuk lain”. Benda yang diciptakan adalah bentuk
lain dari pencitaan-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan paham-paham tasawuf
filosofis yang terkenal dengan ungakapan-ungkapan keganjilannya. Kaum sufi
sunni menolak ungkapan-ungkapan ganjil, seperti yang dikemukakan Abu Yazid
Al-Busthami dengan teori fana’ dan baqa-nya, Al-Hallaj dengan konsep hululnya,
dan Ibnu Arabi dengan konsep wahdatul wujud-nya.
4.
Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at. Dalam pengertian lebih
khusus, keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniahnya) dengan fiqih
(sebagai aspek lahirnya). Hal ini merupakan konsekuensi dari paham diatas.
Karena berbeda dengan Tuhan, manusia dalam berkomunikasi dengan Tuhan tetap
pada posisi atau kedudukannya sebagai objek penerima informasi dari Tuhan. Kaum
sufi dari kalangan sunni tetap memandang penting persoalan-persoalan
lahiriah-formal, seperti aturan yang dianut fuqaha. Aturan-aturan itu bahkan
sering dianggap sebagai jembatan untuk berhubungan dengan Tuhan.
5.
Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan pengobatan
jiwa dengan cara riyadah (latihan mental) dan langkah takhalli, tahalli dan
tajalli.
Karakteristik-karakteristik di atas menjadi tasawuf sunni
berbeda dengan tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang
ajarannya-ajarannya memadukan antara visi mistis visi rasional sebagai
penegasnya. Berbeda dengan tasawuf sunni, tasawuf filosofis menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokoh-tokohnya.
Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam
khazanah Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru
dikenalseabad kemudian. Pada abad ini tasawuf filosofis terus hidup dan
berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filosof, sampai masa
menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan antara tasawuf dan filsafat dengan sendirinya
telah membuat ajaran-ajaran tasawuf filosofis bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat diluar islam, seperti Yunani, Persia, India dan agama Nasrani. Namun
orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang karena para tokohnya
meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan an pengetahuan yang berbeda dan
beraneka ragam, sejalan ekspansi islam yang telah meluas pada waktu itu tetap
berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan
kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjawab
pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filososi begitu gigih mengompromikan
ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar islam ke dalam tasawuf mereka,
serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat yang maknanya telah
disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf
filosofis seperti Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa dan aliran
Neo-Platonisme mengenal dengan baik filsafat Yunani serta dengan berbagai
alirannya. Bahkan, mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang seringkali
disebut Hermetisme, yang
karya-karyanya banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat
Timur Kuno, baik dari Persia maupun India, serta menelaah filsafat-filsafat
para filosof muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Mereka pun
dipengaruhi aliran batiniah serta Isma’iliyyah dari aliran Syi’ah dan
risalah-risalah ikhwan Ash-Shafa. Disamping itu, mereka memiliki pemahaman yang
luas di bidang ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, kalam, hadits serta tafsir.
Jelasnya mereka bercorak ensiklopedis dan berlatar belakang budaya yang
bermacam-macam.
Sebagai sebuah tasawuf yang bercampur dengan pemahaman
filsafat, tasawuf falsafi memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan
tasawuf sunni. Adapun karakteristik tasawuf filosofis secara umum mengandung
kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat
dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya
tasawuf filosofis tidak dapat dipandang sebagai filsafat , karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula dapat dikategorikan sebagai
tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan
dalam bahasa dan terminologi-terminologi filsafat, dan berkecenderungan
mendalam pada panteisme.
Berdasarkan karakteristik umum itu, tasawuf filosofis
memiliki objek tersendiri tang berbeda dengan tasawuf sunni. Dalam hal ini,
Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh At-Taftazani, dalam karyanya
Al-Muqaddimah, menyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para
sufi filosof, antara lain yaitu :
1.
Latihan rohaniah dengan rasa,
intuisi, serta introsfeksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah
dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah serta rasa (dzauq), para
sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi sunni sebab, masalah
tersebut, menurut Ibnu Khaldun, merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak oleh
siapapun.
2.
Iluminasi atau hakekat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sifat-sifat
rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian roh, hakikat realitas segala
yang wujud, ghaib, maupun tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang
Penciptaan dan Penciptaan-Nya. Mengenai ilmuniasi ini, para sufi yang juga
filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat
serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan zikir. Dengan zikir, menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat
realitas-realitas.
3.
Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4.
Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syathahiyyat), yang memunculkan reaksi masyarakat ada yang mengingkarinya,
menyetujui, atau pun yang menginterpretasikannya dengan interpretasi yang
berbeda-beda.
Selain karakteristik umum di atas, tasawuf filosofis
mempunyai beberapa karakteristik secara khusus, di antaranya berikut ini.
1.
Tasawuf filosofis banyak mengonsepsikan pemahaman ajaran-ajarannya dengan
menggabungkan antara pemikiran rasional filosofis dengan perasaan (dzuq).
Kendatipun demikian, tasawuf jenis ini juga sering mendasarkan pemikirannya
dengan mengambil sumber-sumber naqliyahnya,
tetapi dengan interpretasi dan ungkapan yang samar-samar dan sulit dipahami
orang lain. Kalaupun dapat diinterpretasikan orang lain, interpretasi itu
cenderung kurang tepat dan lebih bersifat subjektif.
2.
Seperti halnya tasawuf jenis lain, tasawuf filosofis didasarkan pada
pelatihan-pelatihan rohaniah (riyadlah), yang dimaksudkan sebagai peningkatan
moral, yakni untuk mencapai kebahagiaan.
3.
Tasawuf filosofis memandang iluminasi sebagai metode untuk mengetahui
berbagai hakikat realitas, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana.
4.
Para penganut tasawuf filosofis ini selalu menyamarkan ungkapan-ungkapan
tentang hakikat realitas dengan berbagai simbol atau terminologi.
Perlu dicatat, dalam beberapa segi, para sufi-filosof ini
melebihi para sufi sunni. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya :
1.
Mereka adalah para teoritisi yang baik tentang wujud, sebagaimana terlihat
dalam karya-karya atau puisi-puisi mereka. Dalam hal yang satu ini, mereka
tidak menggunakan ungkapan-ungkapan syathahiyyat.
2.
Kelihaian mereka menggunakan simbol-simbol sehingga ajarannya tidak begitu
saja dapat dipahami oleh orang lain di luar mereka.
3.
Kesiapan mereka yang sungguh-sungguh terhadap diri sendiri ataupun ilum-ilmunya.
Kesimpulan
Uraian-uraian
dasar tasawuf baik dilihat dari landasan Al-Qur’an, Al-Hadits merupakan
benih-benih tasawuf yang kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Daftar Pustaka
1. Anwar
Rosihan. 2000. Ilmu
Tasawuf.
Bandung : CV. Pustaka
Setia
2. Diunggah pada, tanggal 24 september 2011.