STANDAR BAIK DAN BURUK BERDASARKAN AJARAN AKHLAK MORAL DAN ETIKA


Prodi/Semester            : MEPI 1/I
Mata Kuliah                : Akhlak dan Tasawuf
Judul Makalah             : Standar Baik dan Buruk Berdasarkan Ajaran Akhlak
                          Moral dan Etika
Kelompok 3                : 1. Aal Jayalia
                                      2. Darto Ariyanto
                                      3. Ragil Liliyani


STANDAR BAIK DAN BURUK
BERDASARKAN AJARAN AKHLAK MORAL DAN ETIKA

Akhlak  Menurut Imam Al-Ghazali adalah sifat yang melekat diri seseorang yang menjadikannya dengan mudah bertindak tanpa banyak pertimbangkan lagi. Ada pula sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang dimana sifat itu akan timbul dengan mudah karena sudah menjadi kebiasaan.
اَلْخُلُقُ عَادَةُ اْلإِرَدَةِ
“ Khuluq (akhlak) ialah membiasakan kehendak.”
1.      Baik dan buruk
Pengertian baik menurut ethik adalah sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan. Sebaliknya, yang tidak berharga tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan, tidak tercapainya tujuan adalah ”buruk”.
Tujuan dari masing-masing sesuatu,walaupun berbeda-beda,semuanya akan bermuara kepada satu tujuan yang dinamakan baik,semuanya mengharapkan mendapatkan yang baik dan bahagia,tujuan yang akhir yang sama ini dalam ilmu ethik ”kebaikan tertinggi”, yang dengan istilah latinnya di sebut Summum Bonum atau bahasa arabnya Al-khair al-Kully.
Kebaikan tertinggi ini bisa juga di sebut kebahagiaan yang universal atau Universal Happiness.
Allah Berfirman :
وَلِكُلِّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّهَا . فَاسْتَبِقُوا اْلخَيْرَاتِ ( البقرة : ١٤٨)
”dan setiap sesuatu (niat) mempunyai tujuan yang ingin di capainya,maka berlomba-lombalah kalian ( membuat ) kebaikan”
2.      Benar dan Salah
Pengertian benar, menurut etika (ilmu akhlak) ialah hal-hal yang sesuai/cocok dengan peraturan-peraturan. Sebaliknya pengertian salah menurut etika ialah hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Kebenaran yang objektif, yang merupakan kebenaran yang pasti dan satu itu adalah kebenaran yang didasarkan kepada peraturan yang dibuat oleh yang Maha satu, Maha mengetahui akan segala sesuatu yang Maha benar. Karena itu, satu-satunya kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dibuat oleh yang Maha satu yang Maha benar itu. Dan peraturan yang dibuat manusia yang bersifat relatif itu adalah benar apabila tidak bertentangan dengan peraturan yang obyektif yang dibuat oleh yang maha satu yang maha benar. Yakni peraturan yang tidak bertentangan dengan wahyu, karena kebenaran mutlaq adalah kebenaran dari yang maha benar.
Allah SWT. Berfirman :
اَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ اْلمُمْتَرِيْنَ ( البقرة : ١٤٧)
“kebenaran adalah dari tuhanmu dan janganlah kalian termasuk orang yang ragu-ragu”.
Di dalam akhlak islamiyah,untuk mencapai tujuan baik harus dengan jalan yang baik dan benar. Sebab ada garis yang jelas antara yang boleh dan tidak boleh; ada garis damarkasi anatar yang boleh di lampaui dan yang tidak boleh di lampaui, garis pemisah antara yang halal dan yang haram. Semua orang muslim harus melalui jalan yang di bolehkan dan tidak boleh melalui jalan yang dilarang. Bahkan antara yang hala dan yang haram tidak jelas, disebut Syubhat,orang muslim harus berhati-hati, jangan sampai jatuh di daerah yang Syubhat, sebab di khawatirkan akan jatuh di daerah yang haram.
Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
اِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ , وَاِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ , وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ , فَمَنِ اتَّقَي الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ , وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ اْلحَرَامِ . كَالرَّاعِي يَرْعَي حَوْلَ اْلحِمَى يُوْشِكُ اَنْ يَقَعَ فِيْهِ , اَلاَ وَاِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى , اَلاَ وَاِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ اَلاَ وَاِنَّ فيِ اْلجَسَدِ مُضْغَةً , اِذاَ صَلُحَتْ صَلُحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ , وَاِذاَ فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ اَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ ( متفق عليه )
”sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram itu jelas. Dan diantara keduanya ada beberapa Syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia oleh karena itu barang siapa menjauhi Syubhat (keadaan tidak jelas, sesunnguhnya (berarti) ia telah membersihkan agamanya dan kehormatan dirinya.; dan barang siapa yang termasuk di dalam syubhat akan termasuk kedalam, sebagaimana gembala yang mengembala di keliling batas, hampir ia akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa tiap-tiap milik da batasnya; dan ketahuilah, bahwa batas-batas allah ialah larangan-larangan-Nya.
Dan ketahuilah, bahwasanya di tubuh itu ada sekepal daging, yang apabila dia bersih, bersihlah tubuh semuanya; dan apabila dia rusak rusaklah tubuh semuanya; dan ketahuilah, dia ialah ”hati”.
Jadi, menurut akhlak islam, perbuatan itu disamping baik juga harus benar, yang benar juga harus baik. Sebab dalam ethik yang benar belum tentu baik, dan yang baik belum tentu benar.

3.      Adanya kebaikan
Banyak orang yang mengira bahwa orang yang mebgetahui tentang baik itu otomatis menjadi baik; orang yang mengetahui ilmu akhlak menjadi orang yang berakhlak mulia; seperti halnya orang yang mengetahui ilmu agama, pandai dalam ilmu agama menjadi orang yang beragama dengan baik. Belum tentu orang  pandai tentu dalam ilmu agama itu menjalankan agama secara baik, seperti halnya orang yang tahu akan ilmu akhlak belum tentu menjadi orang yang berakhlak mulia.
Letaknya kebaikan itu pada dua hal :
Pertama           : pada adanya kemauan, will, iradah atau niat; dan
Kedua             : pada praktek, action atau amaliah.

Kemauan menjadi modal utama untuk berakhlak. Seseorang yang tahu akan baik, mengetahui baiknya sesuatu, mengetahui betapa baiknya jujur, adil, dermawan, ramah, sopan, rendah hati, dll. Tapi apabila dia tidak mau melakukan berbuat jujur, tidak mau berbuat adil, tidak mau dernawan, tidak mau ramah, tidak mau berbuat sopan, dan sebagainya, maka dia tidak menjadi orang yang baik tersebut. 
Kalau kita ingin akan menjadi baik, kita harus menjalankan kebaikan itu. Kalau kita ingin menjadi orang beragama kita harus melaksanakan ketentuan-ketentuan agama. Dan kebaikan ini akan menjadi akhlaknya apabila perbuatan baik itu dibiasakannya. Tidak cukup untuk disebut beakhlak baik apabila nelakukan kebaikan itu tidak menjadi kebiasaannnya. Umpamanya sholat hanya sesekali atau puasanya sering ditinggalkan dan zakatnya tidak diberikan dan lain sebagainya.

4.      Macam Perbuatan Baik Menurut Ethika
Yang baik pada garis besarnya ada dua macam : yaitu baik dan terbaik. Diluar daripada itu adalah tidak baik, ahli yunani kuno, menurut plato. Ujung tengah antara ujung yang baik itu adalah yang benar ditengah sebelum ujung awal adalah kurang dans esudah ujung akhir, awal dan ujung akhir adalah terlalu.
Seperti ahli filsafat didalam akhlak islamiyah sama dengan pendapat ahli : sabda Rasulullah SAW.
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ اَوْسَطُهَا
“ sebaik-baiknya perkara adalah pertengahannya “
Yang penting didalam hal pertengahan itu adalah yang muwadamah, kontinyu dan istiqomah.

5.   Gambaran Akhlak Rasulullah SAW.
      Rasulullah Saw adalah orang yang banyak berdoa dan selalu merendahkan diri. Beliau selalu memohon kepada Allah Swt supaya dihiasi dengan etika yang baik dan akhlak terpuji. Dalam doanya, beliau selalu membaca :
الله حَسِّنْ خَلْقِي وَخُلُقِي
“ Ya Allah, perindahlah rupa dan akhlakku.”
      Sa’id bin Hisyam bercerita : aku masuk menemui Aisyah ra, dan bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah Saw. Aisyah menjawab dengan pertanyaan, ”Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” Akupun menjawab, ”Ya.” Aisyah berkata, ” Akhlak Rasulullah Saw adalah al-Qur’an.”
      Rasulullah Saw bersabda , ”Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

6.   Standar Baik dan Buruk Berdasarkan Sifat yang ada pada Jiwa Manusia
Ada beberapa sifat manusia yang mendorong manusia pada perbuatan dosa, diantaranya yaitu :

1.      Sifat Ketuhanan (Rububiyah)
Diantara sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia yaiut sifat takabbur, yang menganggap dirinya merasa lebih besar dan yang lain di anggap kecil dan bahkan menganggap lebih rendah lagi, merasa dirinya hebat karena merasa dirinya lebih bisa dan yang lain dianggap bodoh. Terkadang didalam diri manusia terdapat sifat ingin dipuji, semua gerak dan pekerjaannya ingin dilihat orang lain dengan tujuan ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Disamping itu juga ada sifat ketuhanan yang bleh ditiru manusia seperti sifat Allah SWT. Yang maha pengasih dan Penyayang serta penuh pengampunan dan lain sebagainya.
2.      Sifat Syetan (Syaithoniyah)
Apabila sifat-sifat syetan berpindah pada manusia, maka manusia itu akan melakukan perbuatan dosa selamanya, diantara sifat yang disenangi syetan yaitu hasud, berbuat curang, dan menipu. Orang yang dipenuhi sifat seperti akan selalu berbuat dosa dan mengajak pada kemungkaran, hatinya tidak ingin melakukan suatu kebaikan.

3.      Sifat Hewan (Bahimiyah)
Penyebab selanjutnya yang membuat manusia berani melakukan perbuatan dosa, karena terdapat sifat hewan didalam dirinya seperti toma atau rakus, nafsu syahwat yang tidak bisa dikendalikan, mengambil hak orang lain tidak menghiraukan halal dan haramnya, yang penting kebutuhannya terpenuhi.
4.      Sifat Hewan Buas (Sabu’iyah)
Lebih berbahaya lagi bila manusia mempunyai sifat hewan buas, sebab sifat seperti ini berani membunuh segalanya, perkerjaannya hanya marah dan keinginannya mencelakakan orang lain.
      Dari keempat sifat diatas menjelaskan bahwa bentuk perbuatan dosa yang dilakukan manusia, ada yang menjadi dosa besar ada juga yang menjadi dosa kecil. Tapi kalu dilihat secara garis besar macam-macam dosa di bagi menjadi 2 bagian yaitu dosa antara manusia dan tuhannya dan ada dosa antara manusia dengan manusia. Adapun yang termasuk dosa antara manusia dan tuhannya diantaranya yaitu meninggalkan shalat,meninggalkan puasa,dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk diri sendiri. Sedangkan dosa yang berhubungan antara manusia dengan manusia lagi diantaranya tidak mengeluarkan zakat,membunuh,merampas harta orang lain,merusak kehormatan nama orang lain,dan semua pelanggaran yang termasuk hak-hak umum atau yang menyangkut harta,jiwa,agama dan lain sebagainya.
      Kalau dilihat dari besar dan kecilnya dosa dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar yang diistilahkan dengan kabaair, dan dosa kecil yang disebut sayyiaat. Mengikuti keterangan Imam Al-Gazali dosa besar itu jumlahnya ada 17 macam sedangkan dosa kecil sangat banyak sekali. Dari ke 17 dosa besar itu di bagi menurut tempat  atau bagian tubuh kita yang melakukannya.
1.       Empat (4) macam dosa yang ada di dalam hati manusia yaitu : musyrik,melakukan ma’siat selamanya,putus asa dari jalan untuk mendapat rahmat Allah SWT,dan merasa aman dari ancaman dan siksa gusti Allah SWT.
2.       Empat (4) macam dosa ada pada lisan yaitu : menjadi saksi palsu atau berbohong,memfitnah,menjadi tukang sihir dan sumpah palsu.
3.       Tiga (3) macam dosa ada pada perut yaitu : meminum minuman keras yang bisa merusak akal manusia, memakan uang haram, dan memakan harta anak yatim.
4.       Dua (2) macam dosa ada pada kemaluan (farji) yaitu : melakukan zina, dan liwath (homoseksual atau lesbian)
5.       Dua (2) macam dosa ada pada tangan seperti : membunuh dan mencuri
6.       Satu macam dosa ada pada kaki, yaitu : lari atau kabur dari peperangan
7.       Satu macam dosa ada pada seluruh anggota badan, yaitu : durhaka kepada kedua orang tua.

7.   Standar baik dan buruk berdasarkan ajaran akhlak, moral,dan etika
Ada ada beberapa aliran untuk menentukan standar baik dan buruknya sesuatu itu, diantarnya :
  1. Aliran Idealisme
Aliran ini memandang bahwa kebenaran yang hakiki tidak dapat dilihat melalui panca indra semata, karena semua sesuatu yang tampak melalui panca indra hanya merupakan kepalsuan belaka dan bukan sesuatu yang sebenarnya. Jadi kesimpulan dari aliran ini, bahwa  untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk maka dapat diukur dengan cita.
  1. Aliran Naturalisme
Aliran ini memandang bahwa untuk menilai sesuatu yang baik dan buruk itu dapat dipengaruhi oleh pembawaan manusia sejak lahir kedunia. Dengan kata lain manusia sejak anak-anak dapat menilai sesutau itu baik ataupun buruk, akan tetapi dia belum bisa menganalisis mengapa sesuatu itu baik ataupun buruk. Untuk bisa menganalisis sesuatu itu baik dan buruk diperlukan pengalaman hidup yang lama, karena semakin lama pengalaman hidupnya maka semakin matang pemahamannya terhadap sesuatu yang baik dan buruk. Dengan ini dapat ditegaskan bahwa menilai sesuatu itu ditentukan oleh kebutuhan  dan kondisi wilayah yang ditempati oleh manusia.
  1. Aliran Hedonisme
Hedonisme merupakan aliran filsafat tua yang berakar dai pemikiran filsafat Yunani. Menurut aliran ini sesuatu yang dikategorikan baik itu adalah sesuatu yang bisa mendatangkan kenikmatan nafsu biologis. Sedangkan sesuatu yang buruk itu adalah sesuatu yang tidak memberikan kenikmatan nafsu biologis. Sehingga aliran ini menitikberatkan bahwa kebahagian itu terletak pada kepuasan biologis dan hal itu merupakan tujuan hidup bagi mereka yang beraliran hedonisme.

  1. Aliran Teologi Islam
Dalam teologi islam banyak beberapa aliran yang berkembang diantaranya
a.      Aliran Jabariyah
Aliran ini disebut Jabariyah dikarenakan sifatnya memaksa, sehingga kaum ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan dan kekuasaan dalam menentukan keinginannya, kecuali bila Allah yang menghendakinya. Dengan kata lain manusia hanya dikendalikan oleh Allah dan Allahlah yang telah menciptakan sifat manusia. Dan untuk menilai sesuatu itu baik ataupun buruk, aliran ini mengatakan bahwa hanya agamalah yang bisa menentukan baik dan buruknya.
b.      Aliran Qadariyah
Aliran ini merupakan pertentangan dari aliran Jabariyah yang mana menurut aliran ini manusia memiliki kebebasan dan kekuasaaan dalam menentukan keinginaannya. Meskipun pada dasarnya Allah atas manusia manusia diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Dan aliran ini juga mengatakan bahwa penilain terhadap baik dan buruknya sesuatu itu bukan hanya ditentukan oleh agama melainkan ditentukan juga oleh manusia itu sendiri.

c.       Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa akal  manusia tidak dilarang untuk berfikir sebebas-bebasnya termasuk memikirkan tentang persoalan agama. Karena itu dalam menentukan setiap nash (dalil), aliaran Mu’tazilah selalu menentukan nash (dalil) yang akan dijadikan dasar pemikirannya. Dan untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu, aliran Mu’tazilah selalu berorientasi pada akalnya dan kemudian mencari nash (dalil) yang mendukungnya. Sehingga aliran ini sering juga disebut sebagai aliran Rasionalisme.
d.      Aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah
Adanya aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah merupakan reaksi dari aliran Mu’tazilah yang menganggap bahwa dalam memecahkan persoalan hanya dengan filosofisnya saja dan tidak dibandingkan dengan teologi sebelumnya (sunnah Nabi). Maka lain halnya dengan aliran Mu;tazilah, aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah banyak menggunakan sunnah Nabi dalam menentukan sesuatu itu baik atupun salah dan lebih mendahulukan nash (dalil) baru kemudian akal yang menjelaskannya. Dan aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah juga menambahkan bahwa untuk menentukan sesuatu itu benar dan buruk itu sudah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist.
  1. Aliran Tasawuf
Menurut aliran Tasawuf nilai baik dan buruk sesuatu itu bisa dilihat dari perasaan bahagia. Bahagia disini bisa dikategorikan sebagai perasaan yang spirititual.  Maka tidak heran dalam aliran Tasawuf sangat popular istilah zuhud, yaitu suatu sikap yang menunggalkan kesenangan dunia yang bersifat materil.

DAFTAR PUSTAKA

a.       Ahmad Solihin, Khutbah Jum’at Petingan Jilid I, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2000
b.      Fudhoilurrahman dan Aida Humaira, Ringkasan Ihya ’Ulumuddin, Terjemahan, Jakarta, Sahara publishers, 2009
c.       Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (akhlak mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas, 1992



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA





SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata kuliah Ulumul Qur’an Jurusan Muamalah Ekonomi Perbankan Islam

Oleh kelompok 2 :
1.     Elsi Lestari
2.    Zaki yatunnisa K

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 SYEKH NURJATI CIREBON
Febuary 2012


KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas kehendaknya makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya . Makalah yang berjudul “ SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN ” diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas mata pelajaran ulumul Qur’an.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Penulis mengakui bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal . Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak kekurangan, oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat  sempurna  untuk itu penulis memohon agar guru pembimbing materi dan pembaca dapat memakluminya. Penulis  memgharapkan kritik dan saran dari hasil makalah ini. Demikian makalah ini penulis buat, penulis ucapkan terima kasih.

Cirebon,  Febuari 2012



                            Penulis



DAFTAR ISI

Kata pengantar ...................................................................................     i
Daftar isi ...........................................................................................        ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah ............................................      1
B.   Rumusan Masalah .....................................................      1

BAB II :  TINJAUAN UMUM SEJARAH AL-QUR’AN
C.   Pengertian Al- Qur’an................................................2
D.  Hikmah Al-Qur’an secara berangsur – angsur...........2
E.   Penulisan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.......................................................................3
F.    Penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an
     Setelah masa khalifah..................................................5
G.  tentang Rasm Al-Qur’an  Menurut Para Ulama.........11
H.  Pendapat Ibnu Qutaybah Mengenai Qira’at...............11
I.      Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at..................11
BAB III : ANALISA  PEMBAHASAN

BAB IV : PENUTUP
J. Kesimpulan ...............................................................14
K. Saran ........................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................15
 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Quran menurut Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan". Sedangkan dari segi kebahasaan, sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Al- quran diturunkan dalam 2 periode yaitu periode mekkah dan periode madinah. Sejarah kodifikasi Al- quran diturunkan dari zaman Rasullah SAW , zaman Khalifah Abu Bakar as Sidiq, zaman khalifah Umar bin Khatab, zaman khalifah Usman bin. Al-Qur’an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam, al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. kitab suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses penurunan Al-qur’an dari masa ke masa?
2.      Apa faktor pendorong adanya penulisan Al-Qur’an?


BAB II
TINJAUAN UMUM SEJARAH AL-QUR’AN
C.     Pengertian al-qur’an
Quran menurut Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan". Sedangkan dari segi kebahasaan, sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. AL-Quran di turunkan dalam tempo 22 tahun,2 bulan,222 hari,yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW,sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H. Al-Qur’an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam, al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. kitab suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.
D.  Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara Beransur-Ansur
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus.
E. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah dan Khulafa’     Ar-Rasyidin
1.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Pada masa ini Rasulullah mengangkat beberapa orang untuk dijadikan sebagai jurutulis, diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Alat yang digunakan masih sangat sederhana. Para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelepah kurma), likaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta) dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipakai dipunggung unta).
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan yang lainnya, misalnya hadits Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat manulis apa pun selain Al-Qur’an. Larangan ini dipahami oleh Dr. Adnan Muhammad Zarzur sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai akurasi Al-Qur’an.[1] Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil jurutulis wahyu. Kemudian Rasulullah berpesan, agar meletakkan ayat-ayat yang turun itu disurat yang beliau sebutkan.
2.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
a.      Pada Masa Abu Bakar
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada waktu Nabi masih hidup. Hanya saja surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Orang yang pertama kali menyusun Al-Qur’an adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada saat kepemimpinan Abu Bakar terjadi masalah berat, diantaranya mengenai pengakuan Nabi baru yang menimbulkan pertikaian dan sedikitnya 700 hafidz Al-Qur’an gugur. Hal itu merupakan bahaya besar yang dapat mengancam kelestarian Al-Qur’an. Maka hal itu harus segera diatasi. Setelah Umar melihat langsung pertikaian tersebut dan ia segera menemui Abu Bakar, agar berkenan untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan dalam hapalan dan dalam tulisan.
Kemudian Setelah peristiwa tersebut, Zaid bin Tsabit (seorang jurutulis wahyu) diminta bertemu dengan Abu Bakar untuk membantu dalam pengumpulan Al-Qur’an. Zaid bin Tsabit pun setuju dalam membantu pengumpulan dan penulisan al-qur’an. Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan.[2] Sikap kehati-hatian Zaid tersebut berdasarkan pesan Abu bakar kepada Zaid dan Umar.
Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, pada tahun 13 H. Dibawah pengawasan abu bakar, umar dan tokoh sahabat lainnya.[3] Tidak syak lagi ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam mengumpulan al-qur’an pada masa Abu bakar, yakni Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide, Zaid mendapatkan kehormatan karena di percaya untuk mengumpulkan kitab suci Al-qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, dan kerja keras. Khalifah Abu bakar sebagai decision maker menduduki porsi tersendiri.
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah tulisan al-qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan “mushaf”.
b.      Pada masa utsman bin Affan
Dalam menetapkan bentuk al-quran menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at ( cara membaca ) al-qur’an, perselisihan tentang bacaan al quran muncul dikalangan tentara tentara muslim yang sebagian direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak. Khalifah berumbuk dengan para sahabat senior nabi dan akhirnya menugaskan zaid bin tsabit “ mengumpulkan” al-quran. Bersama zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga mekkah terpandang: “ abdullah bin zubair, sa’id bin Al-‘ish dan Abd Ar-Rahma bin Al-harits.
Prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek quraisy- suku dari mana nabi berasal harus dijadikan pilihan. Al quran direvisi dengan nabi berasal dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan hafshah. Dengan demikian suatu naskah otoriatif ( absah ) al quran disebut mushaf “ ustmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinan dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utana daerah islam.
‘utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf-mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[4]
b.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kemabli dihadapan nabi pada saat – saat terakhir.
c.       Kronologis surat dan ayat seperti yang sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda dengan lafazh-lafazh al-qur’an ketika turun
e.       Semua yang bukan termasuk al-qur’an dihilangkan

F.     Penyempurnaan Al-Quran Setelah Masa Khalifah
                  Mushaf yang ditulis perintah’utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-arab memeluk islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Dua tokoh yang berjasa dalam hal ini yaitu “ubaidillah bin Ziyad ( w.67 H ) dan hajjaj bin yusuf ats.Tsaqafi ( w. 95 H. ). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Adapun al – hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘ utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.[5]
        Penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dilakukan oleh generasi sampai abad III H. Tercatat tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakan tanda titik pada mushaf ‘utsmani.
       Upaya penulisan al-quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Untuk pertama kalinya, al-quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu keluar, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci Jerman bernama Hinkleman pada tahun 1694 M  di Hambung ( Jerman ). Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1698 M. Di Padoue. Tak satupun dari al-qur’an cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia islam. Perintis penerbit al-qur’an pertama yaitu dari kalangan bukan muslim.
            Penerbitan al-qur’an dengan lebel islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Mushaf cetakan itu lahir di Saint-Petersbourg, Rusia atau Leningrad, Uni soviet sekarang. Di negara arab, raja Fuad dari mesir membentuk panitia khusus menerbitan al-qur’an diperempatan pertama abad XX. Panitia yang dimotori para syekh Al-azhar ini pada tahun 1342 H/ 1932 M. Berhasil menerbitan mushaf al-qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang petama terbit dinegara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at ‘ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak dimesir dan berbagai negara.[6]

G. Pendapat tentang Rasm Al-Qur’an  Menurut Para Ulama
1.      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani itu bersifat tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis Al-Qur’an . Mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya,[7]
“Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba’. Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Buat baguslah (tulisan) Allah. Panjangkan (tulisan) Ar- Rahman dan buatlah bagus (tulisan) Ar-Rahim. Lalu, letakkan penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat”.
Namun Al-Qaththani berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alasan untuk menjadikan rasm’Utsmani menjadi tauqifi.[8] Rasm ‘Utsmani murni merupakan kreatif panitia atas persetujuan ‘Utsman.
Subhi Shalih juga mengatakan ketidaklogisan rasm ‘Utsmani disebut-sebut tauqifi. Karena huruf-huruf tahajji itu status Qurannya mutawatir. Akan tetapi, istilah rasm ‘Utsmani baru lahir pada masa pemerintahan ‘Utsman. ‘Utsman yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan Nabi.[9]

2.      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapa pun yang menulis Al-Qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya.
3.      Sebagian dari mereka berpendapat rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan yang menghalanginya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Qur’an yang berlainan dengan rasm ‘Utsmani. Sunnah menunjukan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana saja yang mudah. Sebab, Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu.




H. Pendapat Ibnu Qutaybah Mengenai Qira’at
Ibnu Qutaybah telah meringkas perbedaan qira’at ke dalam tujuh segi, yaitu sebagai berikut :
1.      Perbedaan dalam segi I’rab kata, yang tidak menghilangkan bentuknya dan tidak mengubah maknanya.
2.      Perbedaan yang terdapat pada segi i’rab kata dan pada harakatnya, yang dapat menimbulkan perubahan makna, tetapi tulisannya tetap.
3.      Perbedaan yang terjadi pada huruf kata, bukan pada segi i’rabnya, yang dapat melakukan perubahan makna, tetapi bentuk tulisannya tetap.
4.      Perbedaan yang terjadi pada kata yang dapat menimbulkan perubahan bentuk tulisan, tetapi maknanya tetap.
5.      Perbedaan yang terjadi pada kata, yang dapat menimbulkan perubahan makna dan bentuk tulisan.
6.      Perbedaan yang terjadi karena taqdim dan takhir (mendahulukan dan mengakhirkan kata).
7.      Perbedaan yang terjadi karena terdapat tambahan dan kekurangan.


I.                  Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
Mushaf ‘Utsmani tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an walaupun setelah muncul mushaf ‘Utsmani, seperti qira’at tujuh , qira’at sepuluh, qira’at empat belas. Kenyataan itulah yang mengilhami Ibn Mujahid untuk melakukan penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dengan tujuh cara saja (qira’ah sab’ah).
g
BAB III
ANALISA PEMBAHASAN
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi. Pada permulaan Islam, kebanyakan orang bangsa Arab Islam adalah bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang tahu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas seperti kertas yang ada sekarang. Perkataan “al waraq” (daun) yang digunakan dalam mengatakan kertas pada masa itu hanyalah pada daun kayu saja. Kata “al qirthas” digunakan oleh mereka hanya merujuk kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis seperti kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar tulang binatang dan sebagainya. Sesudah wafatnya Nabi Muhammad barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamakan kertas itu sebagai “kaqhid”. Walaupun kebanyakkan bangsa Arab Islam pada masa itu masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan adalah kepada hafalan semata-mata.
Faktor pendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah adanya kekhawatiran hilangnya ayat Al-Qur’an akibat kematian sejumlah besar para penghafal dan para pembaca dalam peperangan. Hal ini disebabkan karena ayat Al-Qur’an dalam bentuk tulisan yang dimiliki para pembaca dan penghafal dapat hilang karena kematiannya, dan sebagaimana kita tahu bahwa penghimpunan Al-Qur’an harus disandarkan pada hafalan dan tulisan. Oleh karena itu, lembaran-lembaran (shuhuf) yang menghimpun ayat Al-Qur’an pada masa Abu Bakar  telah mendapatkan perhatian besar dan lembaran-lembaran tersebut berada ditangan Abu Bakar sampai Allah mewafatkannya, kemudian berpindah tangan kepada Umar sampai Allah mewafatkannya. Kemudian beralih ke tangan Hafshah sampai pada masa Utsman r.a. yang memintanya dari Hafshah untuk dihimpun ketiga kalinya. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Qur’an turun.


BAB IV
PENUTUP

J.  Kesimpulan
   Al- qur’an diturunkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara berangsur – angsur , sebagai pedoman hidup, al- quran merupakan kitab yang paling sempurna dari kitab lainnya . dikarenakan di dalam al – Qur’an terdapat peraturan – peraturan yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan, dari keadaan hina , dan dari segala kejelekan  selama hidup di dunia  sampai akhirat kelak.
k. Saran 
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.






[1] Kamaludin Marzuki, ‘Ulumul Qur’an, hal. 68
[2] Al-Qaththan, op,. Cit., hlm 126
[3] Ash-Shalih, op,. Cit,. Hlm 77
[4] Al-Shalih, op,. Cit,. Hlm 81
[5] Shalih, op. Cit., hlm. 89-91
[6] ibid
[7] Al-Qaththan, op. Cit, hlm. 146-147.
[8]Ulum qur’an, hal 51.
[9] Ash-Shalih, op. Cit, 277

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS