Islam Sebagai Wahyu dan Produk Sejarah


  Islam Sebagai Wahyu dan Produk Sejarah
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fungsi dasar agama ialah memberikan motivasi dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Melalui pengalaman beragama, manusia mampu dan sanggup memiliki kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi sang ilahi.
Agama dikategorikan sebagai kategori sosial dan tidak empiris. Agama juga dirumuskan menjadi tiga corak, yaitu : pengungkapan teoritis sebagai sistem kepercayaan (belief system), pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan (system of worship), pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat.
Secara teoritis agama memiliki daya bentuk yang cukup kuat untuk menciptakan ikatan sosial religius dalam masyarakat. Agama juga memiliki sifat konstruktif, regulatif dan formatif dalam membangun tatanan hidup masyarakat.
Islam adalah agama yang diturunkan Allah sebagi rohmat bagi seluruh alam. Ajarannya yang selalu memberikan kemashlahatan bagi penganutnya, yang juga mampu memberikan kedamaian yang hakiki tidak pada penganutnya saja tapi juga pada manusia-manusia yang mempelajari islam secara mendalam (orientalisme). Mereka menemukan kedamaian yang berbeda dan menenangkan hati. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang telah disebut dalam qur’an surat Toha ayat dua, “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi susah “. Jelaslah bahwa islam merupakan agama yang benar dan membenarkan manusia menuju ilahi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Konsep Tentang Ittihad dan Hulul.


Konsep Tentang Ittihad dan Hulul.

PENDAHULUAN
Beberapa Konsep Tasawuf Falsafi Tentang Tuhan
Pantheisme[1], adalah ide dasar dari tasawuf falsafi. Pantheisme berasal dari kata yunani, yaitu pan yang berarti semua dan theos yang berarti Tuhan. Jadi pantheisme adalah  paham  yang menganggap Tuhan adalah immanen [ada di dalam] makhluk~makhluk. Dengan kata lain Tuhan dan alam adalah sama. Hal yang sama ditegaskan oleh Hamka, bahwa tasawuf jenis ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan filsafat.[2]Ia muncul dalam bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik dan teistik.[3]
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. MerekA tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur yaitu ; hulul, wadah al~wujud dan ittihad.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MAQAMAT


MAQAMAT
Tasawuf sebagai salah satu mistisme, dalam bahasa inggris disebut sufisme. Dikatakan sufi karna pada zaman dahulu para zahid lebih suka menggunakan kain berbahan kasar atau wool.[1] Dan untuk mencapai tingkat sufisme tidak hanya dengan berpakaian wool tapi juga dengan mencapai beberapa tingkatan yaitu maqomat.
Maqamat menurut bahasa adalah tahapan, tingkatan atau kedudukan. Sedangkan menurut istilah adalah merupakan tahapan yang ditempuh oleh para pengawal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
ntuk mencapai kesempurnaan spiritual dan kualitas akhlak, yaitu, harus memiliki ibadah, kesungguhan dan latihan-latihan untuk menjadi Al-Thusi. Seorang salik untuk mencapai kedekatan Kepada Allah SWT.
Maqom tertinggi dari para sufi adalah Ma’rifatullah, dengan mata hati (basirah) melihat Allah dengan mata hati diyakini dapat dilakukan semasa hidup di dunia bagi siapapun hamba Allah yang dikaruniai hati Yang suci dan bersih terbebas dari godaan dan hawa nafsu dan kecenderungan terhadap kehidupan duniawi. Maqom fana itu merupakan hasil dari usaha spritual atau mujahadah.
Dalam menempuh maqomat sufi atau calon sufi senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyaadhoh yaqng sesuai dengan ajaran agama sehingga satu demi satu maqom itu dilaluinya, dan sampailah ia pada maqom puncak, yaitu ma’rifatullah. Menunjuk pada peringkat terakhir dari peringatan tauhid yang berhasil dicapai seorang sufi yang telah mencapai ma’rifat, yakni, tauhidjat. Dalam keadaan demikianm seorang hamba benar-benar menyaksikan bahwa yang benar-benar dan hanyalah Allah.[2]
Maqom sendiri adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalanan menuju Allah. Atau keberadaan seseorang dijalan Allah. Maqom merupakan hasil mujahadah seorang hamba yang dilalui secara bertahap melalui kriteria tertentu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DASAR-DASAR TENTANG TASAWUF


DASAR-DASAR TENTANG TASAWUF
Pengertian Tasawuf secara Etimologi
    Dalam mengajukan teori  tentang tasawuf, baik secara etimologi maupun secara istilah, para ahli ternyata . secara etimologi , pengertian tasawuf menjadi beberapa macam , seperti di bawah ini:
    Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang di konotasikan dengan “ahlu suffah”, yang berarti sekelompok orang di masa Rasulullah yang hidupnya banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan untk beribadah kepada Allah.
    Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shafa”. Kata “shafa” ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan-Nya.
    Ketiga ada yang mengatakan  bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf”. Makna “shaf” dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf yang paling depan.
   Keempat, ada yang mengatakan istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari bani Shufah.
   Kelima, tasawuf ada yang menisbahkan dengan kata dari bahasa Grik atau Yunani, yakni “saufi”. Istilah ini disamakan maknanya demgan kata “hikmah” yang berarti kebijaksanaan. Orang berpendapat seperti ini adalah Mirkas, kemudian di ikuti oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya “adab Al-lughah Al-arabiyah”, yang menyebutkan bahwa para filosofis yunani dahulu telah memasukan pemikiran atau kata-katanya yang di tuliskan dalam buku-buku filsafat yang penuh mengandung kebijaksanaan. Ia mendasari pendapaatnya dengan argumentasi bahwa istilah sufi atau tasawuf tidak di temukan sebelum ada penerjemahan kitab-kitab yang berbahasa yunani kedalam bahasa Arab. Pendapat ini juga oleh Nouldik, yang mengatakan bahwa dalam penerjemahan dari bahasa yunani kedalam bahasa Arab terjadi proses asimilasi. Misalnya orang arab metransliterasikan huruf  “sin” menjadi “shad”, seperti dalam kata tasawuf.[1]
    Keenam ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shaufanah”, yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu banyak yang  tumbuh di padang pasir di tanah Arab dan pakaian kaum sufi berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaanya.[2]
    Ketujuh, ada juga yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu domba atau wol.[3]
    Dari ketujuh Term diatas, yang banyak di akui kedekatanya dengan makna tasawuf yang di pahami sekarang ini adalah term yang ketujuh,yakni Term “shuf”.[4]
Mereka cenderung mengakui Term ketujuh, antara lain Al-kalabadzi, Al-syukhrawardi, Al- Qusyaeri, dan lainnya walaupun dalam kenyataanya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian Wol.
     Barmawie Umarie , mengatakan bahwa dari term-term di atas, belum ada yang menggoyahkan pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari wazan (timbangan) tafa’ul yaitu: tafa’ala yatafa “alu-tafa”ulan dengan imbangannya, yaitu tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan.[5] 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM AKHLAK ISLAM


PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM AKHLAK ISLAM
Pertumbuhan dan perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sudah dikenal dengan istilah adat istiadat(al-adah/tradisi) yang sangat dihormati oleh semua masyarakat.
A.  AKHLAK FASE YUNANI
Kemumgkinan bangsa yang pertama membahas akhlak secara ilmiah adalah bangsa Yunani . Para ahli filsafat Yunani menaruh besar perhatiannya kepada soal akhlak. Saat itu terdapat kaum Sufsata , yaitu golongan ahli filsafat yang mengajar para pemuda Yunani untuk menyiapkan diri menjadi patriot-patriot yang berakhlak . Pemikiran mengenai kewajiban-kewajiban tersebut mendorong mereka untuk memikirkan pokok dan asal-usul akhlak. Mereka mencela golongan orang-orang yang memegang kukuh ajaran dan adat istiadat kuno, dimana mereka hanya mengikuti ajaran-ajaran yang terdahulu.
Kemudian Plato datang, dia menentang ajaran dan adat kuno melainkan melakukan koreksi terhadap golongan angkatan muda. Menurut pendapatnya dengan jalan ocehan dan cemoohan hakikat kebenaran itu akan tertolong. Mereka mengartikan nama “Sufsatah” yaitu “kekacauan” sehingga nama mereka menjadi jelek , padahal kadang mereka mempunyai pandangan yang lebih teliti dan lebih hebat dalam memberikan kesadaran dan kemerdekaan dari takhayul.
Socrates (469-339 SM) datang, dia mencurahkan segala perhatiannya pada soal-soal sumber perkembangan alam dan kesalahan-kesalahan langit. Menurutnya yang perlu diperhatikan ialah apa yang menjadi dasar sesuatu perbuatan dalam kehidupan manusia. Socrates berpendapat bahwa akhlak (etika) dan perilaku manusia tidak akan benar, kecuali jika diberi dasar ilmu. Socrates mempunyai paham bahwa “keutamaan itu adalah ilmu”[1]
Pengaruh Socrates menimbulkan berbagai aliran ilmu akhlak (etika). Dua golongan atau aliran yang terpenting adalah aliran Cynics dan aliran Cyrenics. Golongan Cynics yaitu pengikut ajaran Sutiscanes (444-370 SM) ajarannya ialah Tuhan itu bersih dari kebutuhan, tidak membutuhkan apa-apa dan sebaik-baik orang itu adalah orang yang sama akhlaknya dengan akhlak Tuhan. Tokoh aliran ini ialah Deoganis. Dia mengajarkan kepada murid-muridnya supaya membuang semua kebiasaan manusia, merasa cukup dengan sedikit, rela menderita, memandang hina kepada kekayaan, menghindari kesenangan, dan tidak menghiraukan kemiskinan dan cemoohan orang, asal mereka tetap memegang “keutamaan”.
Adapun golongan Cyrenics, berpendapat bahwa mencari kesenangan dan menjauhi penderitaan itu adalah tujuan hidup yang benar. Keutamaannya adalah jika kesenangan lebih besar dari pada penderitaannya. Tokohnya ialah Aristbus. Golongan ini memandang kebahagiaan itu dalam mencapai dan memperbanyak kesenangan. Golongan Epicurus dan golongan Stoics pengikut aliran Cyrenics namun berlainan dalam cara mempelajari akhlak (etika). Filosof Perancis, yaitu Gancogne (1592-1655) pengikut Epicurus yang menghidupkan ajaran-ajarannya. Kebanyakan filosof Yunani dan Romawi mengikuti aliran Stoics.
Datanglah Plato (429-347 SM) murid Socrates, dia berpendapat bahwa dibelakang alam wujud (fisik) ada alam lain yang bersifat ruhani (metafisika) dan setiap benda yang berjasad itu mempunyai gambar yang tidak berjasad di alam ruhani. Dia juga berpandapat bahwa di dalam jiwa ada berbagai kekuatan yang berlainan, dan keutamaan timbul dari keseimbangan kekuatan-kekuatan itu yang juga tunduk kepada akal. Menurut ajarannya terdapat empat pokok-pokok keutamaan yaitu kebijaksanaan, keberanian, kesucian, dan keadilan, yang manjadi syarat untuk tegak dan lurusnya bangsa-bangsa dan perseorangan.
Kemudian datang Aristo atau Aristoteles (384-322 SM) murid Plato. Dia membuat aliran baru dan pengikutnya dinamakan peripatetics. Dia berpendapat bahwa tujuan terakhir manusia adalah kebahagiaan. Cara mencapai kebahagiaan  menurutnya ialah dangan mempergunakan kekuatan akal sebaik-baiknya. Aristoteles juga menciptakan teori “tengah-tengah” yaitu setiap keutamaan berada diantara dua keburukan.
Pada akhir abad III tersebarlah Agama Nasrani di Eropa, jalan pikiran orang Eropa juga berubah. Mereka menyebarkan pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab Taurat, dengan menyatakan bahwa Allah adalah sumber akhlak yang menciptakan segala kaidah dan patokan dalam perilaku yang menerangkan baik dan buruk. Kebaikan semua itu untuk mencari kerelaan Allah .
B.  AKHLAK FASE ARAB PRA ISLAM
kehidupan baik dan kemuliaan cukup. Namun mereka juga pemarah yang luar biasa, perampok, perampas, saat mereka merasa diancam. Kehalusan perangai bangsa Arab dapat dilihat dari syair-syair mereka, Pada zaman jahiliah bangsa Arab memiliki perangai halus dan rela dalam saat contohnya syair Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan : “Siapa yang menempati janji tidak akan tercela, dan siapa yang membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.[2] Adapun Amir ibnu Dharb Al-‘Adwaniy “pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Sesungguhnya penyesalan itu akibat kebodohan”.
Aktsam ibn Shaify juga mengatakan “ jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah kerusakan; kejahatan adalah kekerasan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan; kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan sebaik-baik perkara adalah sabar”.[3] Amr ibn al-Ahtam pernah mengatakan kepada budaknya “Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat lelaki pencuri; bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya kedudukan suci dan tinggi adalah oang yang belas kasih. Orang yang mulia akan takut mencelamu, dan bagi kebenaran memiliki jalan sendiri bagi orang-orang yang baik”.[4]
Dapat dipahami bahwa bangsa Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran yang minimal dalam bidang akhlak, dan  belum sebanding dengan kata-kata hikmah dari filosof-filosof Yunani kuno. Memang pada saat itu dari kalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat dan aliran-alirannya. Hanya ada orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah agama islam datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala sesuatu yang ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah ciptaan sang Khalikul Alam.
C.  AKHLAK FASE ISLAM
Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.,islam menerima setiap kebiasaan terpuji yang terdapat pada bangsa Arab serta menolak semua yang dianggap jelek (menurut petunjuk wahyu, yaitu Al-quran dan As-sunnah). Islam membawa akhlak mulia yang menjadi dasar kebaikan hidup umat manusia dan alam seluruhnya. Pemikiran bangsa Arab setelah Al-quran turun dari segi akhlak menjadi luas dan berkembang, juga lebih jelas arah dan sasarannya. Mereka telah diberi nikmat (islam) oleh Allah, mereka juga mamapu dalam menulis syair-syair dan karya tulis sastra yang mendidik melalui kata-katanya yang hikmah dan terdapat pesan-pesan yang berkaitan dangan akhlak-akhlak yang sifatnya praktis.
Di kalangan bangsa Arab, sedikit sekali orang yang mempelajari akhlak secara ilmiah meskipun mereka telah maju dalam lapangan pengetahuan. Itu karena mereka merasa cukup dengan ajaran akhlak dari agama  dan tidak butuh dengan pembahasan ilmiah. Abu Nashr Al-Faraby dan Abu ‘Ali bin Sina mempelajari akhlak sacara ilmiah juga mempelajari filsafat Yunani, sehingga dalam ajaran mereka tentang akhlak terdapat alam pikiran Yunani. Pembahasan akhlak terbesar di kalangan Arab adalah Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tadzibul Akhlak wa-Tathhirul ‘Araq, yang membahas campuran akhlak secara ilmiah dengan ajaran-ajaran Plato, Aristo, Galinus, dan ajaran-ajaran islam.
Abah Ibnu Thiby telah memadukan antara takwa kepada Allah dengan bakti kepada orang tua dalam hal kebaikan. Hanya saja dalam tuntunan wahyu ada koreksinya, yaitu Nabi melarang orang tunduk kepada makhluk sesamanya.
D.  AKHLAK FASE ABAD PERTENGAHAN
Eropa mulailah bangkitnya pada babak kedua abad xv dan para ahli menghidup-hidupkan kembali filsafat Yunani. Para ahli angkatan baru waktu itu mengeritik dan memperluas penyelidikan tentang masalah-masalah akhlak (etika) itu berdasarkan persoalan ilmu-ilmu lain yang telah ditemukan orang, seperti ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan, Mereka cenderung kepada kenyataan, bukan kepada khayal. Pandangan baru ini menimbulkan perubahan dalam nilai keutamaan. Perhatian orang mulai tertuju kepada pentingnya dilakukan perhatian tentang pemuda, wanita dan anak-anak dalam susunan memasyarakatan. Telah mencapai sukses dalam menetapkan hak dan kewajiban.
Ilmu filsafat,termasuk didalamnya ilmu akhlak, waktu itu di Eropa pada abad-abad pertengahan, sangat tertekan, sebab gereja memusuhi filsafat Yunani dan Romawi dan menentang penyebaran ilmu dan kenegaraan. Gereja percaya bahwa hakikat kebenaran itu wahyu yang tidak  mungkin salah lagi. Wahyu hanya membolehkan orang berfilsafat dalam batas-batas tertenttu, sekadar memperkuat kepercayaan-kepercayaan keagamaan.
Di Eropa terjadi konfrontasi antara filsafat dan gereja. Gereja pada waktu itu memerangi filsafat  Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Namun diantara golongan gereja ada juga yang menerima percikan filsafat selama tidak bertentangan dengan ajaran gereja.
Inilah yang menciptakan suasana dimana filsafat akhlak yang lahir pada masa itu merupakan perpaduan antara ajaran Yunani dengan ajaran Nasrani. Pemuka-pemukanya yang termasyhur adalah  Abelard  (1079-1142) dan Thomas Aquinas (1226-1274).
Kemudian datang Shakespeare dan Hetzenner yang menyatakan adanya perasaan naluri pada manusia dapat digunakan untuk membedakan baik dan buruk.
E.  AKHLAK FASE MODERN
Periode modern dimulai dari tahun 1800 sampai fase kita sekarang, merupakan zaman kebangkitan umat islam. Ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan dunia islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi.[5]
Sejak Abad Pertengahan, zaman John Stuart Mill (1806-1873) dipindahkannya paham Epicurus ke paham Utilitarisme. Pahamnya terbesar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar disana. Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik buruknya sesuatu ditentukan oleh kegunaannya
Herbert Spencer (1820-1903) mengemukaan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam akhlak manusia. Descartes (1596-1650) seorang ahli pikir Perancis yang menjadi pembangun mazhab rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari adat kebiasaan harus ditolak.
Dari bahasan diatas dapat dipahami bahwa pada era modern itu bermunculan berbagai mazhab etika antara lain sebagai berikut:
v  Ada yang tetap mempertahankan corak paham lama
v  Ada yang secara radikal melakukan revolusi pemikiran
v  Tidak sedikit yang masih tetap konsisten mempertahankan etika teologis, yaitu ajaran akhlak yang berdasarkan ketuhanan (agama)
F.  KESIMPULAN
Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Dia berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila didasarkan ilmu pengetahuan. Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh
Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan) Pada abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah-susah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh Tuhan.
Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum IslamBangsa Arab pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham tertentu. Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.


G.  DAFTAR PUSTAKA

Zahruddin, Drs. 2004. Pengantar studi islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persaja.
Ardani, Moh., Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan tasawuf), (Jakarta: PT Karya Mulia, 2005)
Soleiman, Abjan , Ilmu Akhlak (Ilmu Etika), (Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,1976)


[1] Ahmad Amin, op. cit
[2] Dr.Yusuf Musa, Falsafatu Akhlak il Islam, Kairo, tahun 1963, hlm.86
[3] Ibid hlm. 10
[4] Ibid hlm. 12
[5] Dr.Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 13

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

STANDAR BAIK DAN BURUK BERDASARKAN AJARAN AKHLAK MORAL DAN ETIKA


Prodi/Semester            : MEPI 1/I
Mata Kuliah                : Akhlak dan Tasawuf
Judul Makalah             : Standar Baik dan Buruk Berdasarkan Ajaran Akhlak
                          Moral dan Etika
Kelompok 3                : 1. Aal Jayalia
                                      2. Darto Ariyanto
                                      3. Ragil Liliyani


STANDAR BAIK DAN BURUK
BERDASARKAN AJARAN AKHLAK MORAL DAN ETIKA

Akhlak  Menurut Imam Al-Ghazali adalah sifat yang melekat diri seseorang yang menjadikannya dengan mudah bertindak tanpa banyak pertimbangkan lagi. Ada pula sebagian ulama mengatakan bahwa akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang dimana sifat itu akan timbul dengan mudah karena sudah menjadi kebiasaan.
اَلْخُلُقُ عَادَةُ اْلإِرَدَةِ
“ Khuluq (akhlak) ialah membiasakan kehendak.”
1.      Baik dan buruk
Pengertian baik menurut ethik adalah sesuatu yang berharga untuk sesuatu tujuan. Sebaliknya, yang tidak berharga tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan, tidak tercapainya tujuan adalah ”buruk”.
Tujuan dari masing-masing sesuatu,walaupun berbeda-beda,semuanya akan bermuara kepada satu tujuan yang dinamakan baik,semuanya mengharapkan mendapatkan yang baik dan bahagia,tujuan yang akhir yang sama ini dalam ilmu ethik ”kebaikan tertinggi”, yang dengan istilah latinnya di sebut Summum Bonum atau bahasa arabnya Al-khair al-Kully.
Kebaikan tertinggi ini bisa juga di sebut kebahagiaan yang universal atau Universal Happiness.
Allah Berfirman :
وَلِكُلِّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّهَا . فَاسْتَبِقُوا اْلخَيْرَاتِ ( البقرة : ١٤٨)
”dan setiap sesuatu (niat) mempunyai tujuan yang ingin di capainya,maka berlomba-lombalah kalian ( membuat ) kebaikan”
2.      Benar dan Salah
Pengertian benar, menurut etika (ilmu akhlak) ialah hal-hal yang sesuai/cocok dengan peraturan-peraturan. Sebaliknya pengertian salah menurut etika ialah hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
Kebenaran yang objektif, yang merupakan kebenaran yang pasti dan satu itu adalah kebenaran yang didasarkan kepada peraturan yang dibuat oleh yang Maha satu, Maha mengetahui akan segala sesuatu yang Maha benar. Karena itu, satu-satunya kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dibuat oleh yang Maha satu yang Maha benar itu. Dan peraturan yang dibuat manusia yang bersifat relatif itu adalah benar apabila tidak bertentangan dengan peraturan yang obyektif yang dibuat oleh yang maha satu yang maha benar. Yakni peraturan yang tidak bertentangan dengan wahyu, karena kebenaran mutlaq adalah kebenaran dari yang maha benar.
Allah SWT. Berfirman :
اَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ اْلمُمْتَرِيْنَ ( البقرة : ١٤٧)
“kebenaran adalah dari tuhanmu dan janganlah kalian termasuk orang yang ragu-ragu”.
Di dalam akhlak islamiyah,untuk mencapai tujuan baik harus dengan jalan yang baik dan benar. Sebab ada garis yang jelas antara yang boleh dan tidak boleh; ada garis damarkasi anatar yang boleh di lampaui dan yang tidak boleh di lampaui, garis pemisah antara yang halal dan yang haram. Semua orang muslim harus melalui jalan yang di bolehkan dan tidak boleh melalui jalan yang dilarang. Bahkan antara yang hala dan yang haram tidak jelas, disebut Syubhat,orang muslim harus berhati-hati, jangan sampai jatuh di daerah yang Syubhat, sebab di khawatirkan akan jatuh di daerah yang haram.
Sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
اِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ , وَاِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ , وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ , فَمَنِ اتَّقَي الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ , وَمَنْ وَقَعَ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ اْلحَرَامِ . كَالرَّاعِي يَرْعَي حَوْلَ اْلحِمَى يُوْشِكُ اَنْ يَقَعَ فِيْهِ , اَلاَ وَاِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى , اَلاَ وَاِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ اَلاَ وَاِنَّ فيِ اْلجَسَدِ مُضْغَةً , اِذاَ صَلُحَتْ صَلُحَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ , وَاِذاَ فَسَدَتْ فَسَدَ اْلجَسَدُ كُلُّهُ اَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ ( متفق عليه )
”sesungguhnya halal itu jelas dan sesungguhnya haram itu jelas. Dan diantara keduanya ada beberapa Syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia oleh karena itu barang siapa menjauhi Syubhat (keadaan tidak jelas, sesunnguhnya (berarti) ia telah membersihkan agamanya dan kehormatan dirinya.; dan barang siapa yang termasuk di dalam syubhat akan termasuk kedalam, sebagaimana gembala yang mengembala di keliling batas, hampir ia akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa tiap-tiap milik da batasnya; dan ketahuilah, bahwa batas-batas allah ialah larangan-larangan-Nya.
Dan ketahuilah, bahwasanya di tubuh itu ada sekepal daging, yang apabila dia bersih, bersihlah tubuh semuanya; dan apabila dia rusak rusaklah tubuh semuanya; dan ketahuilah, dia ialah ”hati”.
Jadi, menurut akhlak islam, perbuatan itu disamping baik juga harus benar, yang benar juga harus baik. Sebab dalam ethik yang benar belum tentu baik, dan yang baik belum tentu benar.

3.      Adanya kebaikan
Banyak orang yang mengira bahwa orang yang mebgetahui tentang baik itu otomatis menjadi baik; orang yang mengetahui ilmu akhlak menjadi orang yang berakhlak mulia; seperti halnya orang yang mengetahui ilmu agama, pandai dalam ilmu agama menjadi orang yang beragama dengan baik. Belum tentu orang  pandai tentu dalam ilmu agama itu menjalankan agama secara baik, seperti halnya orang yang tahu akan ilmu akhlak belum tentu menjadi orang yang berakhlak mulia.
Letaknya kebaikan itu pada dua hal :
Pertama           : pada adanya kemauan, will, iradah atau niat; dan
Kedua             : pada praktek, action atau amaliah.

Kemauan menjadi modal utama untuk berakhlak. Seseorang yang tahu akan baik, mengetahui baiknya sesuatu, mengetahui betapa baiknya jujur, adil, dermawan, ramah, sopan, rendah hati, dll. Tapi apabila dia tidak mau melakukan berbuat jujur, tidak mau berbuat adil, tidak mau dernawan, tidak mau ramah, tidak mau berbuat sopan, dan sebagainya, maka dia tidak menjadi orang yang baik tersebut. 
Kalau kita ingin akan menjadi baik, kita harus menjalankan kebaikan itu. Kalau kita ingin menjadi orang beragama kita harus melaksanakan ketentuan-ketentuan agama. Dan kebaikan ini akan menjadi akhlaknya apabila perbuatan baik itu dibiasakannya. Tidak cukup untuk disebut beakhlak baik apabila nelakukan kebaikan itu tidak menjadi kebiasaannnya. Umpamanya sholat hanya sesekali atau puasanya sering ditinggalkan dan zakatnya tidak diberikan dan lain sebagainya.

4.      Macam Perbuatan Baik Menurut Ethika
Yang baik pada garis besarnya ada dua macam : yaitu baik dan terbaik. Diluar daripada itu adalah tidak baik, ahli yunani kuno, menurut plato. Ujung tengah antara ujung yang baik itu adalah yang benar ditengah sebelum ujung awal adalah kurang dans esudah ujung akhir, awal dan ujung akhir adalah terlalu.
Seperti ahli filsafat didalam akhlak islamiyah sama dengan pendapat ahli : sabda Rasulullah SAW.
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ اَوْسَطُهَا
“ sebaik-baiknya perkara adalah pertengahannya “
Yang penting didalam hal pertengahan itu adalah yang muwadamah, kontinyu dan istiqomah.

5.   Gambaran Akhlak Rasulullah SAW.
      Rasulullah Saw adalah orang yang banyak berdoa dan selalu merendahkan diri. Beliau selalu memohon kepada Allah Swt supaya dihiasi dengan etika yang baik dan akhlak terpuji. Dalam doanya, beliau selalu membaca :
الله حَسِّنْ خَلْقِي وَخُلُقِي
“ Ya Allah, perindahlah rupa dan akhlakku.”
      Sa’id bin Hisyam bercerita : aku masuk menemui Aisyah ra, dan bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah Saw. Aisyah menjawab dengan pertanyaan, ”Apakah engkau membaca Al-Qur’an?” Akupun menjawab, ”Ya.” Aisyah berkata, ” Akhlak Rasulullah Saw adalah al-Qur’an.”
      Rasulullah Saw bersabda , ”Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

6.   Standar Baik dan Buruk Berdasarkan Sifat yang ada pada Jiwa Manusia
Ada beberapa sifat manusia yang mendorong manusia pada perbuatan dosa, diantaranya yaitu :

1.      Sifat Ketuhanan (Rububiyah)
Diantara sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia yaiut sifat takabbur, yang menganggap dirinya merasa lebih besar dan yang lain di anggap kecil dan bahkan menganggap lebih rendah lagi, merasa dirinya hebat karena merasa dirinya lebih bisa dan yang lain dianggap bodoh. Terkadang didalam diri manusia terdapat sifat ingin dipuji, semua gerak dan pekerjaannya ingin dilihat orang lain dengan tujuan ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Disamping itu juga ada sifat ketuhanan yang bleh ditiru manusia seperti sifat Allah SWT. Yang maha pengasih dan Penyayang serta penuh pengampunan dan lain sebagainya.
2.      Sifat Syetan (Syaithoniyah)
Apabila sifat-sifat syetan berpindah pada manusia, maka manusia itu akan melakukan perbuatan dosa selamanya, diantara sifat yang disenangi syetan yaitu hasud, berbuat curang, dan menipu. Orang yang dipenuhi sifat seperti akan selalu berbuat dosa dan mengajak pada kemungkaran, hatinya tidak ingin melakukan suatu kebaikan.

3.      Sifat Hewan (Bahimiyah)
Penyebab selanjutnya yang membuat manusia berani melakukan perbuatan dosa, karena terdapat sifat hewan didalam dirinya seperti toma atau rakus, nafsu syahwat yang tidak bisa dikendalikan, mengambil hak orang lain tidak menghiraukan halal dan haramnya, yang penting kebutuhannya terpenuhi.
4.      Sifat Hewan Buas (Sabu’iyah)
Lebih berbahaya lagi bila manusia mempunyai sifat hewan buas, sebab sifat seperti ini berani membunuh segalanya, perkerjaannya hanya marah dan keinginannya mencelakakan orang lain.
      Dari keempat sifat diatas menjelaskan bahwa bentuk perbuatan dosa yang dilakukan manusia, ada yang menjadi dosa besar ada juga yang menjadi dosa kecil. Tapi kalu dilihat secara garis besar macam-macam dosa di bagi menjadi 2 bagian yaitu dosa antara manusia dan tuhannya dan ada dosa antara manusia dengan manusia. Adapun yang termasuk dosa antara manusia dan tuhannya diantaranya yaitu meninggalkan shalat,meninggalkan puasa,dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk diri sendiri. Sedangkan dosa yang berhubungan antara manusia dengan manusia lagi diantaranya tidak mengeluarkan zakat,membunuh,merampas harta orang lain,merusak kehormatan nama orang lain,dan semua pelanggaran yang termasuk hak-hak umum atau yang menyangkut harta,jiwa,agama dan lain sebagainya.
      Kalau dilihat dari besar dan kecilnya dosa dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar yang diistilahkan dengan kabaair, dan dosa kecil yang disebut sayyiaat. Mengikuti keterangan Imam Al-Gazali dosa besar itu jumlahnya ada 17 macam sedangkan dosa kecil sangat banyak sekali. Dari ke 17 dosa besar itu di bagi menurut tempat  atau bagian tubuh kita yang melakukannya.
1.       Empat (4) macam dosa yang ada di dalam hati manusia yaitu : musyrik,melakukan ma’siat selamanya,putus asa dari jalan untuk mendapat rahmat Allah SWT,dan merasa aman dari ancaman dan siksa gusti Allah SWT.
2.       Empat (4) macam dosa ada pada lisan yaitu : menjadi saksi palsu atau berbohong,memfitnah,menjadi tukang sihir dan sumpah palsu.
3.       Tiga (3) macam dosa ada pada perut yaitu : meminum minuman keras yang bisa merusak akal manusia, memakan uang haram, dan memakan harta anak yatim.
4.       Dua (2) macam dosa ada pada kemaluan (farji) yaitu : melakukan zina, dan liwath (homoseksual atau lesbian)
5.       Dua (2) macam dosa ada pada tangan seperti : membunuh dan mencuri
6.       Satu macam dosa ada pada kaki, yaitu : lari atau kabur dari peperangan
7.       Satu macam dosa ada pada seluruh anggota badan, yaitu : durhaka kepada kedua orang tua.

7.   Standar baik dan buruk berdasarkan ajaran akhlak, moral,dan etika
Ada ada beberapa aliran untuk menentukan standar baik dan buruknya sesuatu itu, diantarnya :
  1. Aliran Idealisme
Aliran ini memandang bahwa kebenaran yang hakiki tidak dapat dilihat melalui panca indra semata, karena semua sesuatu yang tampak melalui panca indra hanya merupakan kepalsuan belaka dan bukan sesuatu yang sebenarnya. Jadi kesimpulan dari aliran ini, bahwa  untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk maka dapat diukur dengan cita.
  1. Aliran Naturalisme
Aliran ini memandang bahwa untuk menilai sesuatu yang baik dan buruk itu dapat dipengaruhi oleh pembawaan manusia sejak lahir kedunia. Dengan kata lain manusia sejak anak-anak dapat menilai sesutau itu baik ataupun buruk, akan tetapi dia belum bisa menganalisis mengapa sesuatu itu baik ataupun buruk. Untuk bisa menganalisis sesuatu itu baik dan buruk diperlukan pengalaman hidup yang lama, karena semakin lama pengalaman hidupnya maka semakin matang pemahamannya terhadap sesuatu yang baik dan buruk. Dengan ini dapat ditegaskan bahwa menilai sesuatu itu ditentukan oleh kebutuhan  dan kondisi wilayah yang ditempati oleh manusia.
  1. Aliran Hedonisme
Hedonisme merupakan aliran filsafat tua yang berakar dai pemikiran filsafat Yunani. Menurut aliran ini sesuatu yang dikategorikan baik itu adalah sesuatu yang bisa mendatangkan kenikmatan nafsu biologis. Sedangkan sesuatu yang buruk itu adalah sesuatu yang tidak memberikan kenikmatan nafsu biologis. Sehingga aliran ini menitikberatkan bahwa kebahagian itu terletak pada kepuasan biologis dan hal itu merupakan tujuan hidup bagi mereka yang beraliran hedonisme.

  1. Aliran Teologi Islam
Dalam teologi islam banyak beberapa aliran yang berkembang diantaranya
a.      Aliran Jabariyah
Aliran ini disebut Jabariyah dikarenakan sifatnya memaksa, sehingga kaum ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan dan kekuasaan dalam menentukan keinginannya, kecuali bila Allah yang menghendakinya. Dengan kata lain manusia hanya dikendalikan oleh Allah dan Allahlah yang telah menciptakan sifat manusia. Dan untuk menilai sesuatu itu baik ataupun buruk, aliran ini mengatakan bahwa hanya agamalah yang bisa menentukan baik dan buruknya.
b.      Aliran Qadariyah
Aliran ini merupakan pertentangan dari aliran Jabariyah yang mana menurut aliran ini manusia memiliki kebebasan dan kekuasaaan dalam menentukan keinginaannya. Meskipun pada dasarnya Allah atas manusia manusia diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Dan aliran ini juga mengatakan bahwa penilain terhadap baik dan buruknya sesuatu itu bukan hanya ditentukan oleh agama melainkan ditentukan juga oleh manusia itu sendiri.

c.       Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa akal  manusia tidak dilarang untuk berfikir sebebas-bebasnya termasuk memikirkan tentang persoalan agama. Karena itu dalam menentukan setiap nash (dalil), aliaran Mu’tazilah selalu menentukan nash (dalil) yang akan dijadikan dasar pemikirannya. Dan untuk menentukan baik dan buruknya sesuatu, aliran Mu’tazilah selalu berorientasi pada akalnya dan kemudian mencari nash (dalil) yang mendukungnya. Sehingga aliran ini sering juga disebut sebagai aliran Rasionalisme.
d.      Aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah
Adanya aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah merupakan reaksi dari aliran Mu’tazilah yang menganggap bahwa dalam memecahkan persoalan hanya dengan filosofisnya saja dan tidak dibandingkan dengan teologi sebelumnya (sunnah Nabi). Maka lain halnya dengan aliran Mu;tazilah, aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah banyak menggunakan sunnah Nabi dalam menentukan sesuatu itu baik atupun salah dan lebih mendahulukan nash (dalil) baru kemudian akal yang menjelaskannya. Dan aliran Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah juga menambahkan bahwa untuk menentukan sesuatu itu benar dan buruk itu sudah ditentukan oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist.
  1. Aliran Tasawuf
Menurut aliran Tasawuf nilai baik dan buruk sesuatu itu bisa dilihat dari perasaan bahagia. Bahagia disini bisa dikategorikan sebagai perasaan yang spirititual.  Maka tidak heran dalam aliran Tasawuf sangat popular istilah zuhud, yaitu suatu sikap yang menunggalkan kesenangan dunia yang bersifat materil.

DAFTAR PUSTAKA

a.       Ahmad Solihin, Khutbah Jum’at Petingan Jilid I, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2000
b.      Fudhoilurrahman dan Aida Humaira, Ringkasan Ihya ’Ulumuddin, Terjemahan, Jakarta, Sahara publishers, 2009
c.       Rachmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (akhlak mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas, 1992



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA





SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN DAN PERKEMBANGANNYA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata kuliah Ulumul Qur’an Jurusan Muamalah Ekonomi Perbankan Islam

Oleh kelompok 2 :
1.     Elsi Lestari
2.    Zaki yatunnisa K

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
 SYEKH NURJATI CIREBON
Febuary 2012


KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ingin mengucapkan Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas kehendaknya makalah ini dapat terselesaikan pada waktunya . Makalah yang berjudul “ SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QUR’AN ” diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas mata pelajaran ulumul Qur’an.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat. Penulis mengakui bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal . Dalam pembuatan makalah ini penulis banyak kekurangan, oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat  sempurna  untuk itu penulis memohon agar guru pembimbing materi dan pembaca dapat memakluminya. Penulis  memgharapkan kritik dan saran dari hasil makalah ini. Demikian makalah ini penulis buat, penulis ucapkan terima kasih.

Cirebon,  Febuari 2012



                            Penulis



DAFTAR ISI

Kata pengantar ...................................................................................     i
Daftar isi ...........................................................................................        ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah ............................................      1
B.   Rumusan Masalah .....................................................      1

BAB II :  TINJAUAN UMUM SEJARAH AL-QUR’AN
C.   Pengertian Al- Qur’an................................................2
D.  Hikmah Al-Qur’an secara berangsur – angsur...........2
E.   Penulisan Al-Qur’an pada masa
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.......................................................................3
F.    Penyempurnaan pemeliharaan Al-Qur’an
     Setelah masa khalifah..................................................5
G.  tentang Rasm Al-Qur’an  Menurut Para Ulama.........11
H.  Pendapat Ibnu Qutaybah Mengenai Qira’at...............11
I.      Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at..................11
BAB III : ANALISA  PEMBAHASAN

BAB IV : PENUTUP
J. Kesimpulan ...............................................................14
K. Saran ........................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................15
 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Quran menurut Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan". Sedangkan dari segi kebahasaan, sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril a’s. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Al- quran diturunkan dalam 2 periode yaitu periode mekkah dan periode madinah. Sejarah kodifikasi Al- quran diturunkan dari zaman Rasullah SAW , zaman Khalifah Abu Bakar as Sidiq, zaman khalifah Umar bin Khatab, zaman khalifah Usman bin. Al-Qur’an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam, al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. kitab suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses penurunan Al-qur’an dari masa ke masa?
2.      Apa faktor pendorong adanya penulisan Al-Qur’an?


BAB II
TINJAUAN UMUM SEJARAH AL-QUR’AN
C.     Pengertian al-qur’an
Quran menurut Dr. Subhi Al Salih berarti "bacaan". Sedangkan dari segi kebahasaan, sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. AL-Quran di turunkan dalam tempo 22 tahun,2 bulan,222 hari,yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW,sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H. Al-Qur’an sebagai kitab suci terbesar telah menyedot perhatian banyak orang. Dalam pandangan umat islam, al-Qur’an merupakan teks yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia. kitab suci ini diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan nyata yang muncul di tengah kehidupan manusia. Ia adalah kitab bacaan yang mendapatkan kedudukan istimewa.
D.  Hikmah Diturunkan Al-Quran Secara Beransur-Ansur
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus.
E. Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah dan Khulafa’     Ar-Rasyidin
1.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Pada masa ini Rasulullah mengangkat beberapa orang untuk dijadikan sebagai jurutulis, diantaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Tugas mereka adalah merekam dalam bentuk tulisan semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Alat yang digunakan masih sangat sederhana. Para sahabat menulis Al-Qur’an pada ‘usub (pelepah kurma), likaf (batu halus berwarna putih), riqa’ (kulit), aktaf (tulang unta) dan aqtab (bantalan dari kayu yang biasa dipakai dipunggung unta).
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan yang lainnya, misalnya hadits Rasulullah, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat manulis apa pun selain Al-Qur’an. Larangan ini dipahami oleh Dr. Adnan Muhammad Zarzur sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjamin nilai akurasi Al-Qur’an.[1] Setiap kali turun ayat Al-Qur’an Rasulullah memanggil jurutulis wahyu. Kemudian Rasulullah berpesan, agar meletakkan ayat-ayat yang turun itu disurat yang beliau sebutkan.
2.      Penulisan Al-Qur’an Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
a.      Pada Masa Abu Bakar
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur’an sudah ditulis pada waktu Nabi masih hidup. Hanya saja surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar. Orang yang pertama kali menyusun Al-Qur’an adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada saat kepemimpinan Abu Bakar terjadi masalah berat, diantaranya mengenai pengakuan Nabi baru yang menimbulkan pertikaian dan sedikitnya 700 hafidz Al-Qur’an gugur. Hal itu merupakan bahaya besar yang dapat mengancam kelestarian Al-Qur’an. Maka hal itu harus segera diatasi. Setelah Umar melihat langsung pertikaian tersebut dan ia segera menemui Abu Bakar, agar berkenan untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan dalam hapalan dan dalam tulisan.
Kemudian Setelah peristiwa tersebut, Zaid bin Tsabit (seorang jurutulis wahyu) diminta bertemu dengan Abu Bakar untuk membantu dalam pengumpulan Al-Qur’an. Zaid bin Tsabit pun setuju dalam membantu pengumpulan dan penulisan al-qur’an. Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan.[2] Sikap kehati-hatian Zaid tersebut berdasarkan pesan Abu bakar kepada Zaid dan Umar.
Pekerjaan yang dibebankan kepundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, pada tahun 13 H. Dibawah pengawasan abu bakar, umar dan tokoh sahabat lainnya.[3] Tidak syak lagi ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam mengumpulan al-qur’an pada masa Abu bakar, yakni Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide, Zaid mendapatkan kehormatan karena di percaya untuk mengumpulkan kitab suci Al-qur’an yang memerlukan kejujuran, kecermatan, dan kerja keras. Khalifah Abu bakar sebagai decision maker menduduki porsi tersendiri.
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah tulisan al-qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan “mushaf”.
b.      Pada masa utsman bin Affan
Dalam menetapkan bentuk al-quran menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at ( cara membaca ) al-qur’an, perselisihan tentang bacaan al quran muncul dikalangan tentara tentara muslim yang sebagian direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak. Khalifah berumbuk dengan para sahabat senior nabi dan akhirnya menugaskan zaid bin tsabit “ mengumpulkan” al-quran. Bersama zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga mekkah terpandang: “ abdullah bin zubair, sa’id bin Al-‘ish dan Abd Ar-Rahma bin Al-harits.
Prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek quraisy- suku dari mana nabi berasal harus dijadikan pilihan. Al quran direvisi dengan nabi berasal dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan hafshah. Dengan demikian suatu naskah otoriatif ( absah ) al quran disebut mushaf “ ustmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinan dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utana daerah islam.
‘utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf-mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[4]
b.      Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kemabli dihadapan nabi pada saat – saat terakhir.
c.       Kronologis surat dan ayat seperti yang sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman
d.      Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda dengan lafazh-lafazh al-qur’an ketika turun
e.       Semua yang bukan termasuk al-qur’an dihilangkan

F.     Penyempurnaan Al-Quran Setelah Masa Khalifah
                  Mushaf yang ditulis perintah’utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-arab memeluk islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Dua tokoh yang berjasa dalam hal ini yaitu “ubaidillah bin Ziyad ( w.67 H ) dan hajjaj bin yusuf ats.Tsaqafi ( w. 95 H. ). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Adapun al – hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘ utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.[5]
        Penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dilakukan oleh generasi sampai abad III H. Tercatat tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakan tanda titik pada mushaf ‘utsmani.
       Upaya penulisan al-quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Untuk pertama kalinya, al-quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu keluar, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci Jerman bernama Hinkleman pada tahun 1694 M  di Hambung ( Jerman ). Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1698 M. Di Padoue. Tak satupun dari al-qur’an cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia islam. Perintis penerbit al-qur’an pertama yaitu dari kalangan bukan muslim.
            Penerbitan al-qur’an dengan lebel islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Mushaf cetakan itu lahir di Saint-Petersbourg, Rusia atau Leningrad, Uni soviet sekarang. Di negara arab, raja Fuad dari mesir membentuk panitia khusus menerbitan al-qur’an diperempatan pertama abad XX. Panitia yang dimotori para syekh Al-azhar ini pada tahun 1342 H/ 1932 M. Berhasil menerbitan mushaf al-qur’an cetakan yang bagus. Mushaf yang petama terbit dinegara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qira’at ‘ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak dimesir dan berbagai negara.[6]

G. Pendapat tentang Rasm Al-Qur’an  Menurut Para Ulama
1.      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani itu bersifat tauqifi, yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis Al-Qur’an . Mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada Mu’awiyah, salah seorang sekretarisnya,[7]
“Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba’. Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Buat baguslah (tulisan) Allah. Panjangkan (tulisan) Ar- Rahman dan buatlah bagus (tulisan) Ar-Rahim. Lalu, letakkan penamu diatas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat”.
Namun Al-Qaththani berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alasan untuk menjadikan rasm’Utsmani menjadi tauqifi.[8] Rasm ‘Utsmani murni merupakan kreatif panitia atas persetujuan ‘Utsman.
Subhi Shalih juga mengatakan ketidaklogisan rasm ‘Utsmani disebut-sebut tauqifi. Karena huruf-huruf tahajji itu status Qurannya mutawatir. Akan tetapi, istilah rasm ‘Utsmani baru lahir pada masa pemerintahan ‘Utsman. ‘Utsman yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan Nabi.[9]

2.      Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui ‘Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapa pun yang menulis Al-Qur’an. Tidak boleh ada yang menyalahinya.
3.      Sebagian dari mereka berpendapat rasm ‘Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan yang menghalanginya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Qur’an yang berlainan dengan rasm ‘Utsmani. Sunnah menunjukan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana saja yang mudah. Sebab, Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu.




H. Pendapat Ibnu Qutaybah Mengenai Qira’at
Ibnu Qutaybah telah meringkas perbedaan qira’at ke dalam tujuh segi, yaitu sebagai berikut :
1.      Perbedaan dalam segi I’rab kata, yang tidak menghilangkan bentuknya dan tidak mengubah maknanya.
2.      Perbedaan yang terdapat pada segi i’rab kata dan pada harakatnya, yang dapat menimbulkan perubahan makna, tetapi tulisannya tetap.
3.      Perbedaan yang terjadi pada huruf kata, bukan pada segi i’rabnya, yang dapat melakukan perubahan makna, tetapi bentuk tulisannya tetap.
4.      Perbedaan yang terjadi pada kata yang dapat menimbulkan perubahan bentuk tulisan, tetapi maknanya tetap.
5.      Perbedaan yang terjadi pada kata, yang dapat menimbulkan perubahan makna dan bentuk tulisan.
6.      Perbedaan yang terjadi karena taqdim dan takhir (mendahulukan dan mengakhirkan kata).
7.      Perbedaan yang terjadi karena terdapat tambahan dan kekurangan.


I.                  Kaitan Rasm Al-Qur’an dengan Qira’at
Mushaf ‘Utsmani tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at (cara membaca Al-Qur’an). Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an walaupun setelah muncul mushaf ‘Utsmani, seperti qira’at tujuh , qira’at sepuluh, qira’at empat belas. Kenyataan itulah yang mengilhami Ibn Mujahid untuk melakukan penyeragaman cara membaca Al-Qur’an dengan tujuh cara saja (qira’ah sab’ah).
g
BAB III
ANALISA PEMBAHASAN
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi. Pada permulaan Islam, kebanyakan orang bangsa Arab Islam adalah bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang tahu menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas seperti kertas yang ada sekarang. Perkataan “al waraq” (daun) yang digunakan dalam mengatakan kertas pada masa itu hanyalah pada daun kayu saja. Kata “al qirthas” digunakan oleh mereka hanya merujuk kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis seperti kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah tamar tulang binatang dan sebagainya. Sesudah wafatnya Nabi Muhammad barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamakan kertas itu sebagai “kaqhid”. Walaupun kebanyakkan bangsa Arab Islam pada masa itu masih buta huruf, namun mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan adalah kepada hafalan semata-mata.
Faktor pendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah adanya kekhawatiran hilangnya ayat Al-Qur’an akibat kematian sejumlah besar para penghafal dan para pembaca dalam peperangan. Hal ini disebabkan karena ayat Al-Qur’an dalam bentuk tulisan yang dimiliki para pembaca dan penghafal dapat hilang karena kematiannya, dan sebagaimana kita tahu bahwa penghimpunan Al-Qur’an harus disandarkan pada hafalan dan tulisan. Oleh karena itu, lembaran-lembaran (shuhuf) yang menghimpun ayat Al-Qur’an pada masa Abu Bakar  telah mendapatkan perhatian besar dan lembaran-lembaran tersebut berada ditangan Abu Bakar sampai Allah mewafatkannya, kemudian berpindah tangan kepada Umar sampai Allah mewafatkannya. Kemudian beralih ke tangan Hafshah sampai pada masa Utsman r.a. yang memintanya dari Hafshah untuk dihimpun ketiga kalinya. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Qur’an turun.


BAB IV
PENUTUP

J.  Kesimpulan
   Al- qur’an diturunkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara berangsur – angsur , sebagai pedoman hidup, al- quran merupakan kitab yang paling sempurna dari kitab lainnya . dikarenakan di dalam al – Qur’an terdapat peraturan – peraturan yang dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan, dari keadaan hina , dan dari segala kejelekan  selama hidup di dunia  sampai akhirat kelak.
k. Saran 
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.






[1] Kamaludin Marzuki, ‘Ulumul Qur’an, hal. 68
[2] Al-Qaththan, op,. Cit., hlm 126
[3] Ash-Shalih, op,. Cit,. Hlm 77
[4] Al-Shalih, op,. Cit,. Hlm 81
[5] Shalih, op. Cit., hlm. 89-91
[6] ibid
[7] Al-Qaththan, op. Cit, hlm. 146-147.
[8]Ulum qur’an, hal 51.
[9] Ash-Shalih, op. Cit, 277

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS