MAQAMAT


MAQAMAT
Tasawuf sebagai salah satu mistisme, dalam bahasa inggris disebut sufisme. Dikatakan sufi karna pada zaman dahulu para zahid lebih suka menggunakan kain berbahan kasar atau wool.[1] Dan untuk mencapai tingkat sufisme tidak hanya dengan berpakaian wool tapi juga dengan mencapai beberapa tingkatan yaitu maqomat.
Maqamat menurut bahasa adalah tahapan, tingkatan atau kedudukan. Sedangkan menurut istilah adalah merupakan tahapan yang ditempuh oleh para pengawal tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
ntuk mencapai kesempurnaan spiritual dan kualitas akhlak, yaitu, harus memiliki ibadah, kesungguhan dan latihan-latihan untuk menjadi Al-Thusi. Seorang salik untuk mencapai kedekatan Kepada Allah SWT.
Maqom tertinggi dari para sufi adalah Ma’rifatullah, dengan mata hati (basirah) melihat Allah dengan mata hati diyakini dapat dilakukan semasa hidup di dunia bagi siapapun hamba Allah yang dikaruniai hati Yang suci dan bersih terbebas dari godaan dan hawa nafsu dan kecenderungan terhadap kehidupan duniawi. Maqom fana itu merupakan hasil dari usaha spritual atau mujahadah.
Dalam menempuh maqomat sufi atau calon sufi senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah dan riyaadhoh yaqng sesuai dengan ajaran agama sehingga satu demi satu maqom itu dilaluinya, dan sampailah ia pada maqom puncak, yaitu ma’rifatullah. Menunjuk pada peringkat terakhir dari peringatan tauhid yang berhasil dicapai seorang sufi yang telah mencapai ma’rifat, yakni, tauhidjat. Dalam keadaan demikianm seorang hamba benar-benar menyaksikan bahwa yang benar-benar dan hanyalah Allah.[2]
Maqom sendiri adalah kedudukan seorang hamba dalam perjalanan menuju Allah. Atau keberadaan seseorang dijalan Allah. Maqom merupakan hasil mujahadah seorang hamba yang dilalui secara bertahap melalui kriteria tertentu.


Seorang sufi tidak bisa menaiki sebuah maqom sebelum menjalani maqom yang terendah serta untuk mencapai Maqom Tawakkul juga harus memiliki sifat Qana’ah. Demikian pula seseorang yang belum bisa melakukan taubat tidak akan dapat memasuki tahapan ikabah.
Sedangkan tujuan Maqam adalah sebuah perjalanan panjang dan berat melalui berbagai macam ibadah lahiriah dan batiniah. Dan itu merupakan kedekatan dengan Allah SWT. Maqam akan terus dialami seseorang yang selalu mensucikan jiwanya dari segala urusan duniawi. Tetap tawakal dan sabar atas segala cobaan, tetap teguh memegang kitabnya dan selalu mengikuti petunjuk-Nya.
Semakin tinggi mutu Maqom seseorang maka semakin cepat seseorang mencapai rohaniahnya, sebaliknya semakin rendah mutu Maqom seseorang maka semakin lambat ia naik ke Maqom selanjutnya.
Dari sebab itulah maka untuk berMaqomat ada beberapa tahapan yang harus dicapai oleh seorang salik atau pelaku Maqom. Akan tetapi ada beberapa pendapat mengenai jumlah tahapan untuk menjadi lebih dekat dengan Allah SWT. diantaranya :
1.      menurut Muhammad Al-kabarazi, ada sepuluh tahapan, yaitu : Taubat, Zuhud, Sabar. Tawadhu, Taqwa, Tawakal, Mahabbah, Ma’rifah dan Ridho.
2.      Menurut Abu Nasr Al-Sirroj Al-Tusi, ada tujuh tahapan, yaitu: Taubat, Al-waro, Al-Zuhud, Al-Tawakal, Al-Mahabbah, Al-Ma’rifah, Arr-ridho.
3.      Menurut Imam Gazali, ada delapan, yaitu : Al-Taubah, Al-Sabar, Al-Zuhud, Al-Tawakal, Al-Mahabbah, Al-Ma’rifah, Al-Ridho.
Sedangkan Maqamat yang disepakati oleh para Sufi ada tujuh, antara lain :
1. Taubat
Taubat berarti penyesalan atas perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan yang dilarang oleh Allah SWT. Sedangkan dalam tingkat ini Taubat berarti penolakan terhadap segala sesuatu selain dapat yang memalingkan dari jalan Allah. Untuk mendapat kesempurnaan yang diajarkan para sufi setiap orang harus melalui tahapan-tahapan tertentu yang dimulai dengan taubat nasuha. Taubat adalah tangga pertama dari berbagai Maqom Sufi. Bagi para salik , ia adalah tangga pertama dalam perjalanan mencari Allah SWT. Syarat dalam taubat adalah adanya penyesalan terhapan kesalahan yang telah diperbuat, meninggalkan kesalahan tersebut secara spontan dan tidak mengulanginya sekalipun
Menurut Dzu al-Nun bin Ibrahim al-Mishri (w.264H/861M) taubat dilakukan seorang salik karena mengingaat sesuatu dan terlupakan Allah SWT. Kemudian ia membagi taubat menjadi dua macam. Yaitu, taua\bat kelompok awam karena mengerjakan perbuatan dosa, kedua taubat kelompok khash bertaubat karena ia luppa mengingat Allah SWT. Menurut Imam Al-Ghazali (w. 505H/1111M) taubat tidak akan pernah ada akhirnya, karena merupakan pengulangan-pengulangan meskipun tidak ada dosa yang mendahuluinya. Beliau menyarankan sebelum melakukan taubat tas perbuatan-perbuatan maksiat sebaiknya seseorang terlebih dahulu harus melepaskan cintanya dari urusan duniawi. Dikalangan Sufi taubat terbagi menjadi tiga yaitu, taubah, inabah dan awbah. Taubah dimaksudkan bagi seseorang yang merasa takut akan murka Allah SWT. inabah merupakan tingkatan kedua dari taubah dan diperuntukan bagi seseorang yang mengharapkan pahala. Dan yang terakhir adalah tingkatan yang paling tinggi yang diperuntukan nabi dan rasul yaitu awbah yang merupakan pertobatan seseorang bukan karena takut terhadap siksa ataupun mengharap pahala dari Allah SWT.
Menurut Abu Thali Al-Makkiy, seperti yang dikutip Al-Ghazali, mengemukakan ada tujuh belas yang mengharuskan seseorang bertaubat, dan diklasifikasikan sebagai berikut:
·        Empat dosa yang dilakukan hati, yaitu : syirik, mengulang perbuatan dosa, berputus asa dan merasa aman terhadap perilaku kufur.
·        Empat dosa yang dilakukan oleh lidah, yaitu : bersaksi palsu, bersumpah palsu, menuduh orang lain berzina dan sihir.
·        Tiga dosa yang dilakukan oleh perut, yaitu : meminum minuman keras, mengkonsumsi harta anak yatim, mengkonsumsi harta riba.
·        Dua dosa yang dilakukan oleh kemaluan, yaitu : berzina dan homoseksual.
2. Zuhud
Pengertian Zuhud adalah berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir. Semua itu demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridho, bertemu dan ma’rifat.    
Zuhud terbagi tiga tingkatan, pertama menjauhkan diri dari urusan duniawi demi terhindar dari hukuman akhirat, kedua menjauhkan diri dari urusan duniawi dengan menimbang amalan diakhirat, ketiga tidak peduli terhadap duniawi bukan karena takut hukuman atau mengharapkan pahala dari Allah SWT, akan tetapi karena cintanya kepada Allah SWT.
3. Faqr/Fakir
Fakir ialah sesuatu yang tidak ada pada dirimu sehingga kamu kahilangan sesuatu yang ada pada dirimu, dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezeki-rezeki kecuali kamu takut tidak dapat menegakkan kewajiban. Fakir ialah tidak adanya sesuatu pada dirimu dan seandainnya sesuatu pada dirimu maka sesuatu itu hendaklah tidak ada pada dirimu.[3]   
Faqr secara etimologis berarti kurang. Seorang sufi harus merelakan dirinya berkehidupan kekurangan dalam hal yang menyangkut duniawi, karena jiwanya sudah terfokus pada Allah SWT.
4. Sabar
            Sabar itu terbagi dua, sabar badani yaitu menahan segala sakit yang dialami badan secara ikhlas, kedua sabar rohani yaitu menahan segala tuntunan nafsu dan amarah.
5. Syukur
            Rasa berterimakasih dengan bersungguh-sungguh atas karunia Allah yang diberikan pada kita, tidak hanya dengan ucapan tapi juga dengan amal perbuatan.
6. Tawakal
Tawakkal ialah kemampuan seorang sufi untuk meninggalkan segala perbuatan yang lazim dikenal atau dilakukan manusia pada umumnya atas dorongan hawa nafsu. Tawakkal juga merupakan kesanggupan seorang sufi untuk menyerahkan secara total segala daya dan kekuatan seorang sufi terhadap Allah SWT.
Menurut Abu Al-Hasan Sirrbin Al-Muflis Al-saqathi (w. 251H/865M) tawakkal ialah seseorang tidak mengandalkan daya dan kekuatannya sendiri. Sedangkan menurut Imam Saqhi Al-Bakhi (w. 194H/810M) tawakkal ialah bahwa, hati tenang karena yakin pada janji Allah pasti benar. Menurut Imam Al-Ghazali, hal yang melandasi tawakal adalah tauhid. Yaitu sebagai keteguhan dan ketetapan hati kepada Allah SWT. dalam segala sesuatu.
7. Ridho
Ridho yaitu mendorong seseorang untuk tetap berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasulnya.
Ridho juga merupakan menerima dan rela atas apa yang Allah SWT. berikan kepada kita dengan rasa puas, sehingga mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan. Dan tidak pula berkeluh kesah atau berburuk sangka kepada-Nya.
           
Daftar Pustaka
Drs. H. Suteja, M. Ag. Pengantar Tasawuf Islam, teori dan Praktek. Pangger Press, Cirebon. 2008.
Abu Bakar M. Kalabadzi. Ajaran-Ajaran Sufi. Penerbit Pustaka, Bandung. 1995.
Rivay Siregar. Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,Jakarta. 2000.



[1] Siregar Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik kle-neo Sufisme. Rajawali Pers. Jakarta. 2000.
[2] Drs. H. Suteja, M.Ag. Pengantar Tasawuf Islam teori dan praktik, Pangger Press, Cirebon. 2008.
[3] Abu Bakar M. Kalabadzi, Ajaaran0-Ajaran Sufi. Penerbit Pustaka, Bandung. 1995. Hal, 121.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS