Konsep Tentang Ittihad dan Hulul.


Konsep Tentang Ittihad dan Hulul.

PENDAHULUAN
Beberapa Konsep Tasawuf Falsafi Tentang Tuhan
Pantheisme[1], adalah ide dasar dari tasawuf falsafi. Pantheisme berasal dari kata yunani, yaitu pan yang berarti semua dan theos yang berarti Tuhan. Jadi pantheisme adalah  paham  yang menganggap Tuhan adalah immanen [ada di dalam] makhluk~makhluk. Dengan kata lain Tuhan dan alam adalah sama. Hal yang sama ditegaskan oleh Hamka, bahwa tasawuf jenis ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya tasawuf dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan filsafat.[2]Ia muncul dalam bentuk masa kini yang diantaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politeistik dan teistik.[3]
Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. MerekA tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa term yang telah masyhur yaitu ; hulul, wadah al~wujud dan ittihad.


PEMBAHASAN
1.      ITTIHAD
Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi".
Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
Menurut aqidah islamiyah yang murni, Tuhan adalah maha Esa, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, tidak dapat disekutui oleh sesuatupun. Zat,  sifat dan perbuatan Allah adalah maha Esa, tidak menerima persekutuan. Jika Allah dapat bersatu dengan manusia atau alam semesta sebagaimana anggapan dan keyakinan dalam tasawuf falsafi, maka berarti hilanglah ke-maha  Esaan-Nya, dan ini adalah mustahil bagi Allah SWT.

2.      HULUL.
a.       Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”.
b.Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulul
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia pernah juga
.
Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia" adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Beberepa ungkapan Al-Hallaj yang terdapat makna Hulul adalah sebagai berikut: Al-Hallaj pernah ditanya" Siapakah anda?, ia menjawab 'aku adalah Allah".[7]
Diantara sya'ir Al-Hallaj yang terkenal adalah sebagai berikut:
Aku adalah Allah
Dan aku benar-benar Allah
Aku menyandang Dzat-Nya
Hingga tiada beda antara aku dengan-Nya[8]
Aku adalah orang yang menitis
Dan yang menitis itu adalah aku
Kami adalah dua ruh yang menempati satu jasad
Ruh-Nya adalah ruhku
Dan ruhku adalah ruh-Nya
Siapakah yang melihat dua ruh
Yang menempati satu jasad[9]
Gejala pemikiran Al-Hallaj yang berupa hulul sehingga terucap dalam ungkapan-ungkapannya tersebut diatas telah ada tanda-tandanya sejak ia melaksanakan ibadah haji pertama kali ke Makkah…Ketika melaksanakan haji ia berjanji pada dirinya akan menyelesaikan umrah selama satu tahun di Masjidil Haram dengan berpuasa dan berzdikir. Pada kesempatan ini Al-Hallaj berusaha menurut caranya sendiri untuk menyatu dengan Allah SWT., dan mulai sejak itu pula Al-Hallaj menyerukan konsep hululnya itu.[10]
3.      WAHDAH AL-WUJUD
Wahdatul Wujud merupakan paham yang dibawa Ibnu Arabi[4]. Wahdatul Wujud bermula dari hadits Qudsi, "Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku." Menurutnya, Tuhan tidak akan dikenal jika tidak menciptakan alam semesta. Alam merupakan pemampakan lahir Tuhan.[10]
Menurut paham ini, Tuhan dahulu berada dalam kesendirian-Nya yang mutlak dan tak dikenal. Lalu Dia memikirkan diri-Nya sehingga muncul nama dan sifat-Nya. Kemudian Dia menciptakan alam semesta. Maka seluruh alam semesta mengandung diri Allah, sehingga Allah adalah satu-satunya wujud yang nyata dan alam semesta hanya bayang-bayang-Nya. Bedasar pikiran tersebut, Ibnu Arabi berpendapat seorang sufi dapat keluar dari aspek kemakhlukan dan dapat melebur dalam diri Allah.[10]
Wahdah Al-wujud dapat berarti; penyatuan eksistensi atau penyatuan dzat. Sehingga yang ada atau segala yang wujud adalah Tuhan [Tuhan telah bersatu dengan alam\segala sesuatu].
Wahdah Al-wujud adalah faham yang disusun oleh Ibnu Arabi. Aliran ini pada dasarnya berlandaskan pada perasaan, sebagaimana Ibnu Arabi pernah berkata;"maha suci dzat yang menciptakan segala sesuatu dan dia adalah sesuatu itu".[12]
Dalam mengomentari pernyataan tersebut, harun nasution mengatakan bahwa Wahdah Al-wujud berarti kesatuan wujud, unity of  existence. Faham ini adalah kelanjutan dari faham hulul yang dibawa oleh muhyiddin Ibnu Arabi.[13] Dalam teori tentang wujud, Ibnu Arabi mempercayai terjadinya  emanasi, yaitu Allah menampakkan sesuatu dari wujud materi…….berikut ini adalah beberapa pernyataan Ibnu Arabi yang mengandung  ide wahdah al-wujud.[14]
"….wujud tidak lain adalah dari al-haq karena tidak ada sesuatu yang berwujud kecuali dia",
"tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-haq, karena wujud itu adalah al-haq….."
Pernyataan-pernyataan Ibnu Arabi diatas menunjukan bahwa semua yang tampak, yang ada di alam semesta ini bukanlah wujud yang hakiki, bukanlah wujud yang independent, akan tetapi alam semesta iniadalah sebagai perwujudan dari wujud Allah, karena bagi Ibnu Arabi yang berwujud hanyalah kholiq.
Dalam teori wahdah  al-wujud ini, jika diri Allah terdapat wujud yang setera  hal itu akan menimbulkan dualitas wujud. Dan hal itu akan membawa pada kesyirikan. Bagi yang meyakini faham wahdah al-wujud, semua yang ada di alam semesta inisesungguhnya hanyalah sebuah ilusi atau bayangan yang ditangkap oleh indra manusia, dimana manusia itu juga merupakan ilusi.
Pemahaman tersebut diatas ibarat seseorang yang melihat bayangannyadalam cermin. Gambar yang terlihat dalam cermin itu meskipun ada dan tampak jelas, namun sebenarnya ia hanyalah ilusi atau bayangan dari orang yang bercermin tersebut. Dan apabila seseorang bercermindengan menggunakan beberapa cermin, maka bayangannya orang yang bercermin itupun menjadi banyak. Padahal hakikatnya adalah satu. Hal ini sebagaimana di jelaskan didalam fusush Al-hikmah ;
"wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin maka ia akan menjadi banyak".[15]
Dari uraian diatas  dapat disimpulkan bahwa teori wahdah Al-wujud, yang dipelopori oleh Ibnu Arabi adalah faham yang meyakini tidak ada yang wujud kecuali Tuhan yang Esa, sedangkan alam semesta hanyalah bayangan dari Tuhan. Dengan kata lain antara kholiq dengan makhluk adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Konsep wahdah Al-wujud dari Ibnu Arabi ini ditentang oleh Ibnu Taimiyah dengan ungkapan nya; "Ibnu Arabi berkeyakinan bahwa wujud hanyalah satu, wujud alam adalah wujud Allah, wujud makhluk adalah wujud kholiq dan segala sesuatu adalah perwujudan-Nya. Oleh karena itu ia zindiq.[16]
Adalah tepat yang dikemukakan oleh ibnu taimiyah diatas, sebab Rasululloh SAW. Tidak pernah mengajarkan bahwa tidak ada yang wujud kecuali Allah, akan tetapi beliau menyerukan bahwa tidak ada Tuhan [yang berhak diibadahi]kecuali Allah.
Ringkasan ajaran wahdah al-wujud Ibn ‘Arabbbi, Sadr al-Din al-Qunawi dan Abd karim al-Jilli tertuang dalam Syarab al-Asyiqin.[5]
4.      KONSEP ITTIHAD DAN HULUL DALAM PRESPEKTIF ISLAM
Diskusi tentang Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa; tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi. Bentuk penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh Mulla Sadra untuk menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman, seperti yang disinggung al-Ghazali ketika menjelaskan tauhid melalui penyaksian yang diperoleh melalui kasyf. Memahami hal-hal yang tidak hanya berdasarkan atas nalar dan pengalaman normal mengharuskan kita menyadari bahwa Ibnu Taimiyah yang belum mencapai tingkat pengalaman seperti yang dicapai para Sufi tidak selayaknya mengingkari penjelasan dari orang yang sudah mengalaminya.

5.      KONSEP ITTIHAD DAN HULUL DI LUAR ISLAM.
Untuk menjawab ibnu taimiyah dikarenakan pengadopsian konsep yunani; untuk mengeneralkan kandungan makna Hulul dan Ittihad dan sekaligus untuk membedakannya dari konsep Hulul dan Ittihad dalam Islam, dalam pembahasan ini akan digunakan terma ’ketunggalan ada’ sebagai pengganti dari Hulul dan Ittihad. ide tentang ‘ketunggalan (yang) ada’ dapat dilacak dalam pemikiran tokoh yang, dalam berbagai buku, dianggap sebagai filosof pertama Yunani, Thales. Dia dikenal dengan pendapat bahwa asal semesta adalah air, dengan bukti bahwa segala yang ada mengandung unsur air yang telah menguap atau memadat. Penjelasan naturalistik yang dikemukakan Thales tidak berarti dia sama sekali tidak berbicara tentang tuhan. Alih-alih, menurut Aetius, Thales mengatakan bahwa pikiran (mind) alam semesta adalah tuhan dan bahwa tuhan bersatu dengan segala sesuatu. Pandangan ini kemudian dikenal dengan panteism.

ANALISA KRITIK TERHADAP PANTHEISME
Didalam kritik ini akan dikomparasikan antar pendapat-pendapat dan perkataan para tokoh sufi falsafi dengan Ayat-ayat Al-qur'an dan pendapat para ulama salafush-shalih, apakah sesuai atau tidak sesuai sehigga dapat diambil sebuah kesimpulan tentang pendapat kaum sufi falsafi tersebut.
Pantheisme yang diyakini oleh kaum sufi falsafi adalah bertolak belakang dengan firman Allah SWT. Yang telah menetapkan bagi diri-Nya itu tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Allah berfirman;
"Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Dan Dialah yang maha mendengar dan maha melihat".[QS  Asy-syura ; 11]
Ibnu Katsir dalam mentafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa tidak ada yang serupa dengan dia dalam penciptaan dan sifat-Nya yang maha tinggi. Dan Allah SWT. Adalah zat yang tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya.
Mujahid mengatakan tidak ada sesuatupun tandingan dari makhlik-Nya yang akan menyaingi-Nya atau yang mendekati-Nya.
Perkataan Abu Yazid ; "Aku adalah Allah......"adalah sebuah ungkapan syirik akbar[22] yang nyata (tidak membutuhkan pemikiran yang mendalam bagi akal sehat atas kesyirikan perkataan tersebut).
Perkataan yang menganggap bahwa "segala sesuatu yang ada di alam semesta ini adalah Allah" adalah bertentangan dengan salah satu ayat:
"Patutkah mereka berbuat syirik [dengan menyembah kepada selain Allah] yang tidak dapat menciptakan apa-apa ? padahal sesuatu selain Allah itu adalah ciptaan-Nya"[QS Al-a'raf [7] : 191 ]
Kaum tasawuf falsafi dalam usahanya mengenal Allah SWT. lebih mengedepankan pendapat akal dan dengan mengesampingkan nash-nash yang shahih. Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadinya kesalahan dan menyimpang dari yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya SAW. didalam Al-qur'an dan as-sunnah.
Disamping itu pula, didalam konsep tasawuf  falsafi lebih mengutamakan Riyadhoh Rohaniyah sampai mencapai fana'[23] sehingga mengenal  Allah diluarkesadaran mereka. Dan sudah pasti, mengenali sesuatu, terlebih lagi mengenal Allah di luar alam sadar maka akan tersesat.
Konsep Al-ittihd. Al-hulul dah wahdah Al-wujud jika dipandang dari sudut ilmu tauhid maka termasuk syirik. Karena ketiga konsep tersebut mensekutukan sesuatudengan Allah SWT. dikatakan zat diri telah bersatu dengan wujud Tuhan, atau jiwa telah tenggelam, lebur menjadi satu kedalam hadhirat Tuhan atau bahkan alam semesta adalah jelmaan Tuhan. Ininjelas kesyirikan yang nyata.
Menurut aqidah islamiyah yang murni, Tuhan adalah maha Esa, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, tidak dapat disekutui oleh sesuatupun. Zat,  sifat dan perbuatan Allah adalah maha Esa, tidak menerima persekutuan. Jika Allah dapat bersatu dengan manusia atau alam semesta sebagaimana anggapan dan keyakinan dalam tasawuf falsafi, maka berarti hilanglah ke-maha  Esaan-Nya, dan ini adalah mustahil bagi Allah SWT.
Allah semata-mata berlainan denga dunia real ini secara hakiki. Ia adalh pencipta makhluk. Antara Tuhan dan makhluk adalah berbeda.
Oleh sebab itu, bagaimana kedudukan Al-qur'an dan As-sunnah, jika konsep ini dibiarkan berkembang didalam Islam? Kafir disamakan dengan mukmin, fasik sama dengan taat dan bahkan hewanpun sama hakikaynya dengan Tuhan. Sungguh sangat berbahaya ketiga konsep tersebut bagi umat islam dan benar-benar sesat-menyesatkan. Ketiga konsep tersebut adalah merupakan aliran filsafat yang berasal dari agama hindu yang dimasukkan kedalam tasawuf, guna merusak Islam dari dalam.
Amat berbahaya jika kaum muslimin memandang bahwa konsep ittihad, hulul dan wahdah Al-wujud sebagai metode mendekatkan diri kepada Tuhan.[24]
Oleh karena itu Rasulullah Saw diutus ke dunia ini untuk menghancurkan  keyakinan-keyakinan semacam itu [anggapan bahwa Allah bersekutu dengan makhluk ciptaan-Nya] dan meluruskannya dengan tauhid  la ilaaha illallah, Tiada  Tuhan yang berhak disembah selain Allah. 
Begitu secara ringkas keritikan-keritikan yang ditunjukan kepada faham wahdat al-wujud dengan berbagai konsep atau ajaran yang lahir darinya.[6]

KESIMPULAN
sebagai penutup, perlu dipahami bahwa Hulul dan Ittihad, dalam konteks Islam, tidak boleh ditafsirkan ala Ibnu Taimiyah yang secara panteistik (bahwa tuhan dalam segala sesuatu) atau panenteistik (bahwa tuhan bertempat dalam dalam segala sesuatu), atau menganggapnya sebagai mistisisme naturalis, apalagi dijelaskan secara ateistik. Jauh dari itu semua yang menafikan transendensi Tuhan, Ibn Arabi selalu menekankan transendensi Tuhan diatas semua kategori. Penjelasan yang mengesankan hal demikian mestilah dipahami dalam konteks sufistik dan ditafsirkan secara tepat dengan mengkomparasikan satu keterangan dengan lainnya.
Lebih jauh lagi, dalam konteks kesamaan (nama) konsep dalam berbagai tradisi tidak mesti ditafsiri dalam konteks keterpengaruhan. Untuk menyebut kasus, formulasi metafisik dalam tradisi agama semitik dan Hindu, misalnya, dalam batas tertentu memiliki kemiripan. Namun hal ini kemudian dipahami secara berbeda oleh masing-masing penganut tradisi.
Dalam konteks yang lebih luas, kemiripan-kemiripan yang ada antara tasawuf, secara umum, dan konsep Hulul dan Ittihad, khususnya, tidaklah mesti dipahami sebagai keterpengaruhan. Karena, kesamaan—atau lebih tepatnya, apa yang dianggap sebagai kesamaan—antara konsep para Sufi dan konsep yang dikenal dalam tradisi lain tidaklah meniscayakan bahwa kaum Sufi telah mengadopsi konsep tradisi lain secara apa adanya. Dan jika dianggap bahwa peminjaman istilah dan konsep dari tradisi lain benar-benar terjadi, maka hal itu tidak menafikan proses Islamisasi konsep itu

DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Rosihon.2009.Akhlak Tasawuf.Bandung: CV Pustaka Setia.
Azhari kautsar N.1995.  Ibn’arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan.Jakarta: Paramadina.
Hamka,1986.Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya.Jakarta: Pustaka Panjimas.
Jamil HM.2004,Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas.Jakarta : Gaung Persada Pers.
Khaliq,Abur Rahman Abdul.2001.Penyimpangan-penyimpangan Tasawuf.Jakarta :Rabbani Perss.
Siregar.A.Rivay,2000.Tasawuf dari Sufisme Klasik ke neo-Sufisme.Jakarta:PT Raja Grapindo Persada.

http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan_dalam_Islam (sabtu 1 oktober 2011)



[1] Taftazani,op.cit.,hlm188

[2] Hamka, Tasawuf: perkembangan dan pemurniannya,jakarta : pustaka panjimas1986 hlm 76
[3] Kautsar azhari noer ibn Arabi wahdat al-Wuju dalam perdebatan.Jakarta : paramadina hlm 162
[4] Anwar Hosihon,2009 cet ke-1 akhlak yasawuf hlm 170
[5] Drs,H.M Jamil MA.cakrawala Tasawuf2004 hlm 142.
[6][6] Dalam buku syekh Abdur Rahman Khaliq,ibid,hlm 59-70 dan Muhammad Al-Abduh dan Thariq Abdul Halim op.cit,hlm 107

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS